melihat kebelakang

yaa.. seminari tinggi fermentum adalah seminari pendidikan calon imam keuskupan bandung. Perjalanan yang sangat panjang menghiasi berdirinya bangungan fisik dan bangunan rohani fermentum ini sendiri.
Selanjutnya...?

August 30, 2008

Citepus mulai dibangun





Gedung Seminari Tinggi Fermentum Citepus mulai dibangun pada bulan November 1994. Sebelumnya, Mgr. Alexander Djajasiswaja Pr., telah mengumpulkan tokoh-tokoh yang mampu memahami visi beliau dan menjadikannya panitia pembangunan Seminari Tinggi Fermentum. “Mengapa mesti melibatkan banyak orang?” “Pembangunan ini bukanlah pembangunan yang sekali keluarkan biaya lalu jadi, tetapi
Ini harus diangkat oleh umat.” Ini menjadi khas keuskupan Bandung. Tidak ada keuskupan lain yang seperti ini.
Waktu itu, di keuskupan Agung Semarang belum ada imam dioses yang menjadi uskup. Uskup yang ada bukanlah diosesan. Melihat Seminari Tinggi yang ada di Jl. Tjode 2 sudah tidak mencukupi lagi dan dengan pertimbangan lainnya, akhirnya Mgr. Soegijopranoto SJ.. mencari tempat lain yang lebih luas bagi pembinaan calon imam diosesan. Rm. L. Suasso de lima de Padro SJ dan Rm. Leo Soekoto SJ., yang menjabat rektor pada waktu itu segera mencari tanah untuk pembangunan Seminari Tinggi. Pembangunan dibiayai keuskupan.

Panitia pembangunan Seminari Tinggi Keuskupan mulai bergerak. Jl. Jawa 22 yang waktu itu menjadi wisma tahun rohani menjadi sekretariat panitia pembangunan. Berbagai cara pengumpulan dana dilakukan. Pengajuan proposal, bazar, door price, permohonan ke paroki-paroki, semua dilakukan untuk membiayai pambangunan. Paroki. kelompok kategorial, perusahaan, perorangan, keluarga, dan banyak lainnya memberikan sumbangan yang tidak sedikit hingga akhirnya dana yang dianggarkan tercukupi. Tidak hanya dalam bentuk uang, tidak jarang yang menyumbang bahan-bahan bangunan antara lain cat.
Tanah untuk kompleks gedung Seminari Tinggi diupayakan. Namun tidak ada lagi tanah seluas paling sedikit seribu meter persegi yang Ietaknya ada di daerah kota Bandung ini. Mgr. Alexander Djajasiswaja ingat bahwa pernah membeli tanah sedikit demi sedikit hingga akhirnya seluas 20.000 meter persegi. Tanah ini dibeli melalui Pst. Van Iperen OSC., dan para haji yang mempunyai tanah tersebut. Waktu itu sebenarnya Pst. Van Iperen OSC., harus bersaing dengan para konglomerat dan pengusaha besar yang juga ingin membeli tanah tersebut. Akan tetapi Haji-haji pemilik lebih mempercayai Pst. Van Iperen OSC., dengan alasan bahwa Pst. Van Iperen OSC., mempunyai sekolah, sekolah tersebut pasti membutuhkan asrama, yang jelas ini untuk kepentingan pendidikan. Haji-haji lebih terbuka untuk itu daripada nanti dikuasai konglomerat yang malah dapat menindas rakyat. Jadi pada awalnya, mereka mulai mengetahui bahwa Pst. Van Iperen OSC akan membangun asrama di sini. Tidak hanya Aloysius tetapi juga asrama Unpar.

Tanah yang dibeli pada waktu itu seluas 20.000 m2. Akan tetapi, yang dapat dipergunakan tinggal sekitar 5.000 m2 karena ditukar dengan PT. Batununggal di daerah jalan Soekarno-Hatta untuk pembangunan kompleks sekolah Aloysius.
Pada waktu Romo Mangun lewat Bandung. Mgr. Alexander Djajasiswaja meminta beliau untuk merancang bangunan bagi Seminari Tinggi Keuskupan Bandung. Romo Mangun berkomentar bahwa tanah ini bagus. Tanah yang tidak rata justru dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk pembangunan unit-unit.
Apa yang mendasari bangunan bentuk unit? Bentuk unit ini khasnya Fermentum. Bentuk ini dilandasi oleh pemikiran bahwa selama ini, model seminari yang ada adalah bentuk tangsi. Anak tangsi mempunyai kenakalan tinggi. Kalau Seminarinya juga model tangsi, hasilnya juga anak-anak model tangsi. Besar tetapi tidak pernah ada interaksi yang sungguh-sungguh mendalam karena semua dapat berlindung di belakang komunitas yang serba besar. Dalam unit-unit, besar kemungkinan terwujudnya kerja sama, tahu kelemahan orang lain, secara khusus juga dapat saling membantu. Semua interaksi ini dilakukan dengan lebih intens.

Tanggal 11 November 1994. Gedung Seminari Tinggi mulai dibangun. Panitia pembangunan memperhitungkan bahwa proses pembangunan akan memakan waktu selama dua tahun atau lebih cepat sedikit dan perkiraan tersebut. Diandaikan bahwa pada awal tahun 1996 gedung sudah selesai. Akan tetapi, dalam proses pembangunan, biaya melonjak tinggi. Harga bahan-bahan bangunan mengalami kenaikan terutama kayu sebagai bahan baku utama gedung ini. Lokasi yang tidak dapat dijangkau olch truk pengangkut bahan-bahan bangunan membuat waktu dan biaya bertambah besar Bahan-bahan bangunan harurdiangkut dengan tenaga manusia. Hal ini membuat waktu pembangunan semakin lama. Biaya pengangkutan yang semula tidak diperhitungkan harus diadakan. Awal tahun 1996, gedung belum sepenuhnya selesai. Biaya yang semula dianggarkan 1,1 milyar, kini membengkak menjadi 1,7 milyar. Keuskupan harus rnerogoh kantongnya lebih dalam. Panitia pembangunan Seminari Tinggi tidak dapat mohon sumbangan ke paroki-paroki karena beredar kabar bahwa biaya sudah mencukupi.

No comments: