
plang mendirikan bangunan: menandai awal mula berdirinya gedung awal seminari tinggi fermentum di Buah Batu
Bermula dari pertanyaan seorang seminaris dari Bogor ketika Mgr. Alexander Djajasiswaja berkunjung ke Seminari Tinggi St.Petrus dan Paulus dalam rangka kunjungan pastoralnya sebelum beliau ditahbiskan menjadi uskup. Pada waktu itu seorang seminaris mengajukan pertanyaan, “ Sekarang, karena uskupnya seorang diosesan, apakah lantas akan mempropagandakan imam dioses?” Lalu calon Uskup Bandung ini meminta bantuan kepada Mgr. Geise OFM untuk menjawab pertanyaan tersebut. “Wadhuh.. bagaimana ini harus dijawab monsinyur?” “Begini, saya ini dulu kan uskup Bogor, tapi saya seorang Fransiskan. Tentu saya sebagai Fransiskan ingin mengembangkan ordo saya, tetapi saya juga ingat bahwa seorang Uskup, entah itu diosesan, entan OSC, OFM, SJ entah apapun, punya tugas mengembangkan diosesnya, keuskupannya, mengembangkan tenaga-tenaga dioses, mengembangkan imam-imam dioses”.
Pertanyaan ini rupanya terus mengiang di hati Bapa Uskup yang waktu itu baru menemukan tiga imam diosesan. Dalam perjalanan beliau menjadi uskup Bandung,akhirnya terpikirkan juga untuk mendirikan sebuah Seminari Tinggi Keuskupan Bandung yang waktu itu seminarisnya dititipkan ke Seminari Tinggi Keuskupan Bogor. St. Petrus-Paulus. Sudah sewajarnya bila sebuah keuskupan memiliki Seminari Tingginya sendiri bagi para calon imam diosesnya. Belum terpikirkan untuk membangun Seminari Tinggi dengan biaya keuskupan. Yang terbersit di benak Bapa Uskup adalah Propaganda Fide. Setelah mempertimbangkannya bersama dewan penasihat, Mgr. Alexander Djajasiswaja bermaksud mendirikan Seminari Tinggi Keuskupan Bandung. Beliau mengirimkan sepucuk surat kepada Propaganda Fide untuk mernbantu pembangunan Seminari Tinggi milik Keuskupan Bandung. “Saya inii engkau tugaskan untuk menjadi uskup di Bandung tetapi saya belum punya rumah untuk imam-imam diosesan!” demikian sepenggal kalimat isi surat tersebut. Pertengahan tahun 1985, surat tersebut dikirim. Lama menanti tidak ada jawaban dari Propaganda Fide. Pada awal tahun 1986 datang sepucuk surat, bukan dari Propaganda Fide, melainkan dari Sekretariat Konferensi Uskup Jerman, yang menyatakan kesediaan membantu pembangunan Seminari Tinggi Keuskupan Bandung. Rancangan gambar bangunan segera dikirim dan dana pun cairlah. Pada pertengahan 1986 pembangunan Seminari dimulai. Tempat yang dipilih adalah tanah yang terletak di Jalan Buah Batu (sekarang Jalan Suryalaya Sari). Tempat tersebut dipilih karena saat iitu hanya itulah tanah milik keuskupan yang tidak “bermasalah”. Tanggung jawab pelaksanaan pembangunan diserahkan kepada Pst. Van Iperen, OSC.
Para frater mulai menempati “Rumah Masa Depan” berlantai dua pada tanggal 1 April 1987 meskipun pembangunan belum rampung seluruhnya. Kala itu ada empat angkatan, yaitu angkatan Fr. Handi, Fr. Ferry, Fr. Didiek, dan Fr. Darman (semuanya sudah menjadi pastor). Dengan kondisi seadanya mereka memulai babak baru dalam perjalanan pendidikan menuju imamat mulia. Keterbatasan sarana tidak menjadi halangan untuk melangkah maju. Tidak adanya penerangan listrik di minggu-minggu awal yang memadai tidak membuat hati dan pikiran mereka ikut suram. Justru dalam terang kebersamaan, para frater dengan semangat yang menggebu-gebu berusaha membuat suasana home-sweet-home. Mereka bersama-sama bekerja rnernpercantik dan memperindah rumah dengan bekerja bersama.
Dalam kebersamaan pulalah mereka mengatur dinamika acara harian seminari sehari-hari. Waktu doa, Studi, opera, “ pastoral” diusahakan sendiri melauio kesepakatan. Rektor pertama yang mendampingi para frater, Pst. Purtranto OSC hadir sebagai peneguh perjalanan panggilan mereka.
Bermula dari pertanyaan seorang seminaris dari Bogor ketika Mgr. Alexander Djajasiswaja berkunjung ke Seminari Tinggi St.Petrus dan Paulus dalam rangka kunjungan pastoralnya sebelum beliau ditahbiskan menjadi uskup. Pada waktu itu seorang seminaris mengajukan pertanyaan, “ Sekarang, karena uskupnya seorang diosesan, apakah lantas akan mempropagandakan imam dioses?” Lalu calon Uskup Bandung ini meminta bantuan kepada Mgr. Geise OFM untuk menjawab pertanyaan tersebut. “Wadhuh.. bagaimana ini harus dijawab monsinyur?” “Begini, saya ini dulu kan uskup Bogor, tapi saya seorang Fransiskan. Tentu saya sebagai Fransiskan ingin mengembangkan ordo saya, tetapi saya juga ingat bahwa seorang Uskup, entah itu diosesan, entan OSC, OFM, SJ entah apapun, punya tugas mengembangkan diosesnya, keuskupannya, mengembangkan tenaga-tenaga dioses, mengembangkan imam-imam dioses”.
Pertanyaan ini rupanya terus mengiang di hati Bapa Uskup yang waktu itu baru menemukan tiga imam diosesan. Dalam perjalanan beliau menjadi uskup Bandung,akhirnya terpikirkan juga untuk mendirikan sebuah Seminari Tinggi Keuskupan Bandung yang waktu itu seminarisnya dititipkan ke Seminari Tinggi Keuskupan Bogor. St. Petrus-Paulus. Sudah sewajarnya bila sebuah keuskupan memiliki Seminari Tingginya sendiri bagi para calon imam diosesnya. Belum terpikirkan untuk membangun Seminari Tinggi dengan biaya keuskupan. Yang terbersit di benak Bapa Uskup adalah Propaganda Fide. Setelah mempertimbangkannya bersama dewan penasihat, Mgr. Alexander Djajasiswaja bermaksud mendirikan Seminari Tinggi Keuskupan Bandung. Beliau mengirimkan sepucuk surat kepada Propaganda Fide untuk mernbantu pembangunan Seminari Tinggi milik Keuskupan Bandung. “Saya inii engkau tugaskan untuk menjadi uskup di Bandung tetapi saya belum punya rumah untuk imam-imam diosesan!” demikian sepenggal kalimat isi surat tersebut. Pertengahan tahun 1985, surat tersebut dikirim. Lama menanti tidak ada jawaban dari Propaganda Fide. Pada awal tahun 1986 datang sepucuk surat, bukan dari Propaganda Fide, melainkan dari Sekretariat Konferensi Uskup Jerman, yang menyatakan kesediaan membantu pembangunan Seminari Tinggi Keuskupan Bandung. Rancangan gambar bangunan segera dikirim dan dana pun cairlah. Pada pertengahan 1986 pembangunan Seminari dimulai. Tempat yang dipilih adalah tanah yang terletak di Jalan Buah Batu (sekarang Jalan Suryalaya Sari). Tempat tersebut dipilih karena saat iitu hanya itulah tanah milik keuskupan yang tidak “bermasalah”. Tanggung jawab pelaksanaan pembangunan diserahkan kepada Pst. Van Iperen, OSC.
Para frater mulai menempati “Rumah Masa Depan” berlantai dua pada tanggal 1 April 1987 meskipun pembangunan belum rampung seluruhnya. Kala itu ada empat angkatan, yaitu angkatan Fr. Handi, Fr. Ferry, Fr. Didiek, dan Fr. Darman (semuanya sudah menjadi pastor). Dengan kondisi seadanya mereka memulai babak baru dalam perjalanan pendidikan menuju imamat mulia. Keterbatasan sarana tidak menjadi halangan untuk melangkah maju. Tidak adanya penerangan listrik di minggu-minggu awal yang memadai tidak membuat hati dan pikiran mereka ikut suram. Justru dalam terang kebersamaan, para frater dengan semangat yang menggebu-gebu berusaha membuat suasana home-sweet-home. Mereka bersama-sama bekerja rnernpercantik dan memperindah rumah dengan bekerja bersama.
Dalam kebersamaan pulalah mereka mengatur dinamika acara harian seminari sehari-hari. Waktu doa, Studi, opera, “ pastoral” diusahakan sendiri melauio kesepakatan. Rektor pertama yang mendampingi para frater, Pst. Purtranto OSC hadir sebagai peneguh perjalanan panggilan mereka.
No comments:
Post a Comment