Gagasan Dasar Bangunan Fisik Fermentum
Salah satu hadiah bagi Pst. YB. Mangunwijaya Pr adalah menerima tugas dari Mgr. Alexander Djajasiswaja untuk merancang kompleks Asrama Seminari Tinggi Fermentum untuk room-romo Keuskupan Bandung. Hanya ikut merancang, sebab tentulah segala-gala yang mengenai perancangan serta pemyelenggaraan asrama yang penting itu dating dari pengarahan Bapak Uskup serta staf beliau sendiri, dan tentu saja oleh Pimpinan Seminari Tinggi tersebut.
Bagian yang dikerjakan oleh Pst. YB. Mangunwijaya Pr adalah segi-segi fisik saja, dan ini pun akan dikerjakan sebagian besar oleh sahabat-sahabat insinyur dan pakar dari Keuskupan Bandung sendiri.
Bagi Pst. YB. Mangunwijaya Pr suatu asrama adalah sebentuk keluarga kecil, atau mungkin adalah RT kecil. Hanya dalam asrama seminari unsure kaum ibu, gadis dan anak-anak absen. Ada ruginya, ada untungnya. Namun bagaimanapun perlulah suasana kekeluargaan diciptakan. Bukan suasana tangsi atau hotel ataupun kos-kosan. Oleh karena itu, saran beliau adalah konsep lain dari misalnya asrama Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta yang bergaya asrama tangsi dengan los-los kamar berderet-deret. Untuk keuskupan Bandung, asrama didesentralisasi menjadi unit-unit kecil @ 8 orang, yang merupakan suatu unit keluarga.
Makan bersama ditata sendiri di setiap unit yang harus mengambil makanan dari dapur. Demikian pun tanggungjawab atas segala kebersihan dan keberesan kamar makan sekaligus rekreasi unit dan kamar tamu, KM-WC dan ruang dapur kecil serta tempat jemur, berfungsinya ledeng dan listrik dalam unit serta kebun di sekitar unit ada dalam tangan anggota-anggota unit. Jadi, sosok jongos atau pembantu tidak ada. Seluruh anggota unit bertanggungjawab dan mengerjakan segala hal yang perlu bagi fungsi, kebersihan, kerapihan, keindahan, kenikmatan unit masing-masing. Kalau ada ledeng atau listrik yang rusak, maka tidak ada tukang khusus yang memperbaikinya. Para frater sendirilah yang harus membereskannya. Demikian juga tanaman-tanaman hias maupun makanan penambah gizi, tanaman obat-obatan dan sebagainya di sekitar unit adalah tanggungjawab para frater unit.
Boleh jadi akan tumbuh semacam silent competition unit mana yang paling bagus, bersih dan tertata, kebun mana yang paling mengekspresikan kerajinan para frater, suasana unit mana yang paling akrab. Itu ada positifnya, walaupun lomba kualitas itu harus terjadi secara alami dan tanpa ada semacam demam menang dan sebagimnya. Demikianlah calon pastor praja Bandung tidak hanya belajar filsafat dan teologi dan merasa diri sebagai priyayi yang harus punya pembantu rumah tangga dan tukang kebun, tetapi merasakan sendiri (sedikit) suka-duka para petani, kaum buruh dan pekerja kasar lain dari kalangan bawah. Maka dunia piker dan studi dengan otak dan intelektualitas dapat diimbangi dengan penghayatan praktis kehidupan masyarakat yang tidaklah ringan. Dan semoga dengan demikian para frtare tidak tumbuh menjadi tuan-tuanyang arogan, tetapi menjadi abdi-abdi Gereja dan masyarakat yang penuh teposeliro dan kesetiakawanan dengan kaum dina lemah miskin, tanpa mengabaikan segala hal di kalangan atas yang memegang cambuk pimpinan masyarakat.
Dengan sistem unit-unit yang terdesentralisasi, anggota-anggota unit yang banyak itu dapat saling berkunjung, bersilaturahmi seperti yang terjadi dalam RT biasa. Barangkali hanya pada hari Minggu dan Hari Besar lain, seluruh penghuni asrama bersama rector dan pembimbing makan bersama dalam aula besar; boleh jadi bersama dengan para tamu dari umat Gereja yang sedang berekoleksi atau berseminar, berdiskusi dalam bangunan Aula.
Sebab, aula memang dibuat pertama sebagai ruang-bersama seluruh komunitas Asrama Seminari Tinggi, tetapi juga memeungkinkan akomodasi penginapan untuk kelompok kecil yang ingin rekoleksi, diskusi, seminar umat. Misalnya pada week-end atau hari-hari libur lain. Demikian secara alami komunitas Seminari Tinggi Fermentum selalu berjumpa, saling berdialog dan saling belajar dari umat. Sehingga tidak teramat terisolasi dari umat dan kehidupan real masyarakat seperti dalam system lama nun dulu kala. Tentulah semua itu ada untung ada ruginya. Akan tetapi, Gereja sesudah Konsili Vatikan ke 2 bukan lagi Gereja yang tertutup. Dialog dengan dunia luar, khususnya dengan Umat (yang jelaslah bukan dunia luar bagi calon imam) perlu dipupuk dan dikondisikan oleh susunan bangunan-bangunan fisik.
Khususnya ini penting bagi room praja, yang dari namanya saja (praja=masyarakat, Negara, komunitas public) jelas tidak dididik untuk enjadi biarawan, apalagi eremit yang menjauhkan diri dari dunia. Romo praja, seperti kata Yesus sendiri, teristimewa “di dalam dunia, walaupun tidak ada dari dunia” (Yoh17,10-19). Suatu ungkapan yang memanggil para imam praja untuk bertapa ramai (topo ngramai, bhs.Jawa) yakni tentang intim hening berkontak dengan Tuhan di tengah segala keramaian dan kehirukpikukan apa pun. Oleh karena itu dua unsure; Gereja dan Masyarakat merupakan wilayah dwitunggal medan bakti room-romo praja.
Adalah keliru samasekali, bila romo praja itu dibandingkan dengan misalnya semacam pamong-praja pemerintah atau kaum birokrat-pemerintah, dan seminari tinggi semacam Akademi Pegawai Dalam Negeri Gerejawi atau AKABRI Gerejawi. Memang romo-romo praja adalah pembantu Uskup yang merupakan Gembala Utama setiap keuskupan, dan unsure hirarki, akan tetapi Gereja bukan Negara dan juga bukan perusahaan atau partai. Jadi romo praja bukan juga berhakekat menjadi birokrat, seolah-olah KWI itu pemerintah pusat, lalu uskup itu gubernur dan pastor paroki bupati, sedangkan pastor stasi atau lingkungan itu camat. Atau Uskup adalah direktur utama danmanajer umum, sedangkan pastor paroki itu direktur atau pimpro. Imam, pastor itu bukan birokrat, bukan manajer.
Seorang pastor adalah gembala baik Warta Bahagia, yang meninggalkan 99 dombanya hanya untuk mencari satu domba yang hilang (Luk15:4-6). Seorang manajer yang berbuat seperti itu adalah manajer tolol. Dia harus mengutamakan 99 dombanya yang maju dan baik-baik, sedangkan yang satu domba yang hilang itu ya sudahlah, risiko perusahaan, boleh dilupakan saja karena masih jauh membahayakan efisiensi produki, break-even point keuntungan dan sebaigainya. Bahkan dalam manajemen baik perusahaan, tentara mauapun pemerintahan pun, semua yang dianggap kurang efektif, kurang menguntungkan perlu dirasionalisasi, dipecat atau dipensiun bila perlu.
Seorang pastor tidak pernah memecat warga umatnya, bahkan seperti setiap ibu yang baik, justru lebih menaruhkan perhatian dan kesayangannya kepada anaknya yang paling cacat atau sakit atau tertinggal dibanding dengan kakak-adik lain yang lebih cemerlang. Ya, setiap romo dan imam Gereja adalah ibu. Yang harus pandai mengelola dan mengatur rumah tangga, tetapi terutama mencintai. Bukan manajer atau birokrat. Manajemen paroki, efisiensi organisasi dan sebagainya adalah lain cirri-cirinya maupun definisinya. Cuma susahnya pastor itu harus lelaki. Jadi perlu mendapat “infus” khusus agar sifat keibuan, kelemahlembutan, kecenderungan memihak dan mengutamakan yang cacat, bodoh, miskin dan sebaginya jauh lebih berkembang daripada naluri-naluri lelakinya untuk menjadi manajjer, bos, komandan dan sebagainya.
Demikianlah, semoga sususan fisik Asrama Seminari Tinggi Fermentum Keuskupan Bandung dapat ikut membantu sedkit realisasi pendikan imam-imam praja di Bandung. Dan semoga pembangunan asrama tersebut mencerminkan jiwa dan kearifan Mgr. A. Djajasiswaja yang ketika beliau di Keuskupan Agung Semarang belum menjadi uskup sudah makan garam banyak dalam praksis perpaduan pastoral Gereja dan Negara/Masyarakat, serta semoga merupakan semacam Hadiah Dasawarsa Pentahbisan beliau menjadi Gembala Utama Keuskupan Bandung yang beliau cintai. Yogyakarta, Juli 1994
Salah satu hadiah bagi Pst. YB. Mangunwijaya Pr adalah menerima tugas dari Mgr. Alexander Djajasiswaja untuk merancang kompleks Asrama Seminari Tinggi Fermentum untuk room-romo Keuskupan Bandung. Hanya ikut merancang, sebab tentulah segala-gala yang mengenai perancangan serta pemyelenggaraan asrama yang penting itu dating dari pengarahan Bapak Uskup serta staf beliau sendiri, dan tentu saja oleh Pimpinan Seminari Tinggi tersebut.
Bagian yang dikerjakan oleh Pst. YB. Mangunwijaya Pr adalah segi-segi fisik saja, dan ini pun akan dikerjakan sebagian besar oleh sahabat-sahabat insinyur dan pakar dari Keuskupan Bandung sendiri.
Bagi Pst. YB. Mangunwijaya Pr suatu asrama adalah sebentuk keluarga kecil, atau mungkin adalah RT kecil. Hanya dalam asrama seminari unsure kaum ibu, gadis dan anak-anak absen. Ada ruginya, ada untungnya. Namun bagaimanapun perlulah suasana kekeluargaan diciptakan. Bukan suasana tangsi atau hotel ataupun kos-kosan. Oleh karena itu, saran beliau adalah konsep lain dari misalnya asrama Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta yang bergaya asrama tangsi dengan los-los kamar berderet-deret. Untuk keuskupan Bandung, asrama didesentralisasi menjadi unit-unit kecil @ 8 orang, yang merupakan suatu unit keluarga.
Makan bersama ditata sendiri di setiap unit yang harus mengambil makanan dari dapur. Demikian pun tanggungjawab atas segala kebersihan dan keberesan kamar makan sekaligus rekreasi unit dan kamar tamu, KM-WC dan ruang dapur kecil serta tempat jemur, berfungsinya ledeng dan listrik dalam unit serta kebun di sekitar unit ada dalam tangan anggota-anggota unit. Jadi, sosok jongos atau pembantu tidak ada. Seluruh anggota unit bertanggungjawab dan mengerjakan segala hal yang perlu bagi fungsi, kebersihan, kerapihan, keindahan, kenikmatan unit masing-masing. Kalau ada ledeng atau listrik yang rusak, maka tidak ada tukang khusus yang memperbaikinya. Para frater sendirilah yang harus membereskannya. Demikian juga tanaman-tanaman hias maupun makanan penambah gizi, tanaman obat-obatan dan sebagainya di sekitar unit adalah tanggungjawab para frater unit.
Boleh jadi akan tumbuh semacam silent competition unit mana yang paling bagus, bersih dan tertata, kebun mana yang paling mengekspresikan kerajinan para frater, suasana unit mana yang paling akrab. Itu ada positifnya, walaupun lomba kualitas itu harus terjadi secara alami dan tanpa ada semacam demam menang dan sebagimnya. Demikianlah calon pastor praja Bandung tidak hanya belajar filsafat dan teologi dan merasa diri sebagai priyayi yang harus punya pembantu rumah tangga dan tukang kebun, tetapi merasakan sendiri (sedikit) suka-duka para petani, kaum buruh dan pekerja kasar lain dari kalangan bawah. Maka dunia piker dan studi dengan otak dan intelektualitas dapat diimbangi dengan penghayatan praktis kehidupan masyarakat yang tidaklah ringan. Dan semoga dengan demikian para frtare tidak tumbuh menjadi tuan-tuanyang arogan, tetapi menjadi abdi-abdi Gereja dan masyarakat yang penuh teposeliro dan kesetiakawanan dengan kaum dina lemah miskin, tanpa mengabaikan segala hal di kalangan atas yang memegang cambuk pimpinan masyarakat.
Dengan sistem unit-unit yang terdesentralisasi, anggota-anggota unit yang banyak itu dapat saling berkunjung, bersilaturahmi seperti yang terjadi dalam RT biasa. Barangkali hanya pada hari Minggu dan Hari Besar lain, seluruh penghuni asrama bersama rector dan pembimbing makan bersama dalam aula besar; boleh jadi bersama dengan para tamu dari umat Gereja yang sedang berekoleksi atau berseminar, berdiskusi dalam bangunan Aula.
Sebab, aula memang dibuat pertama sebagai ruang-bersama seluruh komunitas Asrama Seminari Tinggi, tetapi juga memeungkinkan akomodasi penginapan untuk kelompok kecil yang ingin rekoleksi, diskusi, seminar umat. Misalnya pada week-end atau hari-hari libur lain. Demikian secara alami komunitas Seminari Tinggi Fermentum selalu berjumpa, saling berdialog dan saling belajar dari umat. Sehingga tidak teramat terisolasi dari umat dan kehidupan real masyarakat seperti dalam system lama nun dulu kala. Tentulah semua itu ada untung ada ruginya. Akan tetapi, Gereja sesudah Konsili Vatikan ke 2 bukan lagi Gereja yang tertutup. Dialog dengan dunia luar, khususnya dengan Umat (yang jelaslah bukan dunia luar bagi calon imam) perlu dipupuk dan dikondisikan oleh susunan bangunan-bangunan fisik.
Khususnya ini penting bagi room praja, yang dari namanya saja (praja=masyarakat, Negara, komunitas public) jelas tidak dididik untuk enjadi biarawan, apalagi eremit yang menjauhkan diri dari dunia. Romo praja, seperti kata Yesus sendiri, teristimewa “di dalam dunia, walaupun tidak ada dari dunia” (Yoh17,10-19). Suatu ungkapan yang memanggil para imam praja untuk bertapa ramai (topo ngramai, bhs.Jawa) yakni tentang intim hening berkontak dengan Tuhan di tengah segala keramaian dan kehirukpikukan apa pun. Oleh karena itu dua unsure; Gereja dan Masyarakat merupakan wilayah dwitunggal medan bakti room-romo praja.
Adalah keliru samasekali, bila romo praja itu dibandingkan dengan misalnya semacam pamong-praja pemerintah atau kaum birokrat-pemerintah, dan seminari tinggi semacam Akademi Pegawai Dalam Negeri Gerejawi atau AKABRI Gerejawi. Memang romo-romo praja adalah pembantu Uskup yang merupakan Gembala Utama setiap keuskupan, dan unsure hirarki, akan tetapi Gereja bukan Negara dan juga bukan perusahaan atau partai. Jadi romo praja bukan juga berhakekat menjadi birokrat, seolah-olah KWI itu pemerintah pusat, lalu uskup itu gubernur dan pastor paroki bupati, sedangkan pastor stasi atau lingkungan itu camat. Atau Uskup adalah direktur utama danmanajer umum, sedangkan pastor paroki itu direktur atau pimpro. Imam, pastor itu bukan birokrat, bukan manajer.
Seorang pastor adalah gembala baik Warta Bahagia, yang meninggalkan 99 dombanya hanya untuk mencari satu domba yang hilang (Luk15:4-6). Seorang manajer yang berbuat seperti itu adalah manajer tolol. Dia harus mengutamakan 99 dombanya yang maju dan baik-baik, sedangkan yang satu domba yang hilang itu ya sudahlah, risiko perusahaan, boleh dilupakan saja karena masih jauh membahayakan efisiensi produki, break-even point keuntungan dan sebaigainya. Bahkan dalam manajemen baik perusahaan, tentara mauapun pemerintahan pun, semua yang dianggap kurang efektif, kurang menguntungkan perlu dirasionalisasi, dipecat atau dipensiun bila perlu.
Seorang pastor tidak pernah memecat warga umatnya, bahkan seperti setiap ibu yang baik, justru lebih menaruhkan perhatian dan kesayangannya kepada anaknya yang paling cacat atau sakit atau tertinggal dibanding dengan kakak-adik lain yang lebih cemerlang. Ya, setiap romo dan imam Gereja adalah ibu. Yang harus pandai mengelola dan mengatur rumah tangga, tetapi terutama mencintai. Bukan manajer atau birokrat. Manajemen paroki, efisiensi organisasi dan sebagainya adalah lain cirri-cirinya maupun definisinya. Cuma susahnya pastor itu harus lelaki. Jadi perlu mendapat “infus” khusus agar sifat keibuan, kelemahlembutan, kecenderungan memihak dan mengutamakan yang cacat, bodoh, miskin dan sebaginya jauh lebih berkembang daripada naluri-naluri lelakinya untuk menjadi manajjer, bos, komandan dan sebagainya.
Demikianlah, semoga sususan fisik Asrama Seminari Tinggi Fermentum Keuskupan Bandung dapat ikut membantu sedkit realisasi pendikan imam-imam praja di Bandung. Dan semoga pembangunan asrama tersebut mencerminkan jiwa dan kearifan Mgr. A. Djajasiswaja yang ketika beliau di Keuskupan Agung Semarang belum menjadi uskup sudah makan garam banyak dalam praksis perpaduan pastoral Gereja dan Negara/Masyarakat, serta semoga merupakan semacam Hadiah Dasawarsa Pentahbisan beliau menjadi Gembala Utama Keuskupan Bandung yang beliau cintai. Yogyakarta, Juli 1994
1 comment:
Selamat siang Pastor dan Frater. oia saya mengucapin salam untuk :
1. Pastor Heri Nugroho
2. Pastor Darwanto.
3. Pastor Wahyu Tri W
dan selamat atas Pentahbisannya.
Mungkin mereka lupa dengan saya, saya juga pernah menjadi bagian di fermentum. nama Saya Kristanto Ari, dulu saya satu angkatan dengan Pastor Heri,dll. sekarang saya tinggal dijogja. bekerja di Bina Swadaya ( Majalah Trubus Group )
Post a Comment