Tulisan tentang peneliti etnografi ini dibuat oleh mbak titi wening sebagai bahan acuan yang tidak bisa dipisahkan dalam acara temu akbar frater-frater diosesan se-Indonesia yang dilaksanakan bulan Agustus 2008 di paroki Kristus Raja-Cigugur. Terimakasih ya mbak. Sukses selalu sebagai antropolog. Fermentum sebagai penyelenggara sungguh berterimakasih atas materi yang hebat ini.
Etnografi menggunakan peneliti sebagai alat pengumpulan data – melalui indera (penglihatan, pendengaran, perasa) dan kemampuan untuk berkomunikasi. Dengan alasan tersebut pada bagian ini akan diuraikan beberapa hal yang menjadi perhatian bila seseorang akan melakukan penelitian atau ‘menjadi seorang peneliti’ etnografi.
Pertanyaan dan rencana penelitian
Penelitian selalu berawal dari sebuah pertanyaan penelitian. Tidak mungkin seorang melakukan suatu penelitian bila tidak ada pertanyaan di kepalanya. Penelitian dilakukan untuk menemukan jawaban atas suatu pertanyaan. Seorang peneliti etnografi harus bisa merumuskan suatu pertanyaan penelitian yang nantinya akan dicari jawabannya melalui penelitian. Merumuskan di sini berarti mengolah permasalahan menjadi sebuah pertanyaan yang ‘layak’ dan ‘bisa’ dicari jawabannya melalui penelitian – tentunya dengan segala keterbatasan ikut serta di dalamnya. Termasuk di dalam rumusan permasalahan adalah pertanyaan “untuk apa nantinya penelitian ini dilakukan?”.
Pertanyan penelitian etnografi selalu berhubungan dengan masyarakat, lembaga atau kelompok – berkenaan dengan interaksi manusia. Penelitian etnografi juga menggunakan lingkungan alamiah ‘yang diteliti’ sebagai tempatnya. Penelitian etnografi melibatkan serangkaian teknik pengumpulan data yang dipakai bersamaan untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan. Hal-hal tersebut hanya sebagian dari banyak permasalahan yang harus dipertimbangkan oleh peneliti ketika merumuskan sebuah pertanyaan penelitian.
Setelah sebuah pertanyaan berhasil dirumuskan, maka menjadi tugas peneliti etnografi pula untuk menyusun rencana penelitian. Termasuk di dalam penyusunan rencana ini adalah menentukan data apa yang akan dicari untuk bisa menjawab pertanyaan, dan bagaimana cara pengumpulan data akan dilakukan. Validitas dan reliabilitas menjadi hal terpenting yang harus dipertimbangkan dalam pengumpulan data. Selain itu keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya menjadi hal lain yang juga harus dipertimbangkan ketika seorang peneliti menyusun rencana penelitian.
Pertanyaan penelitian menjadi penuntun peneliti untuk mendapatkan informasi di lapangan, dengan teknik pengumpulan data sesuai rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketika ‘ngobrol’ dengan informan dilakukan, pertanyaan penelitian harus tetap diingat oleh peneliti – karena berhubungan dengan informasi yang harus didapatkan. Peneliti bisa bertanya tentang segala hal sejauh berhubungan dan signifikan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Misal: pertanyaan-pertanyaan tentang perilaku seks di kalangan remaja – menjadi signifikan untuk menjawab pertanyaan penelitian ‘bagaimana penyebaran HIV/ AIDS di kalangan pengguna narkoba’. Tetapi pertanyaan-pertanyaan tentang perilaku seks di kalangan remaja tersebut tidak signifikan untuk menjawab pertanyaan penelitian ‘matapencaharian apa yang sesuai untuk menggantikan pekerjaan penebang liar di Kalimantan Tengah’.
Dalam kegiatan UFO kali ini, peserta tidak akan mengalami proses rumit berkenaan dengan perumusan masalah dan penyusunan rencana penelitian. Peserta hanya diajak untuk mengalami bagaimana seorang peneliti melakukan observasi dan wawancara. Observasi dan wawancara merupakan metode yang paling sering dipakai untuk mengumpulkan data dalam penelitian etnografi. Pertimbangan tersebut menjadi alasan untuk memberikan gambaran bagaimana seorang peneliti etnografi ‘sebaiknya’ melakukan observasi dan wawancara.
Observasi
Semua hal yang teramati dan tertangkap oleh indera manusia bisa menjadi data yang menggambarkan ‘yang lain’ (others). Untuk itu dibutuhkan kepekaan dalam mengamati segala sesuatu hal di lapangan. Kepekaan di sini adalah kemampuan peneliti untuk ‘mengenal yang lain’ – segala hal yang mereka lakukan dalam berinteraksi, baik dengan sesamanya, juga lingkungannya. Bagaimana sebuah kelompok masyarakat di suatu daerah saling berinteraksi, dan kemudian saling berbagi pengetahuan, cara hidup, perilaku, nilai – dan banyak hal lainnya yang akhirnya disebut sebagai sebuah ‘kebudayaan’.
Termasuk yang diamati dalam kegiatan observasi ini adalah lingkungan tempat tinggal mereka – bagaimana lingkungan juga memberi pengaruh pada kebudayaan. Ketika petani menjadi sebuah kelompok masyarakat yang akan diteliti, maka kualitas, kontur (tinggi rendah tanah), dan berbagai hal yang berkaitan dengan tanah menjadi penting untuk diamati. Termasuk juga kualitas air, sumber air, curah hujan, dan segala sesuatu yang berpengaruh pada tingkat kesuburan merupakan hal penting lainnya. Hal yang sama juga terjadi pada jenis tanaman, pola tanam, teknik penanaman – yang tentunya juga dipengaruhi oleh kondisi tanah dan air. Kondisi lingkungan alam akan berakibat pada pola-pola adaptasi petani berkaitan dengan berbagai aspek pertanian – pemilihan jenis tanaman, berbagai teknik pengolahan tanah, penanaman, pemanenan hasil, hingga penjualan, dan pemanfaatan hasil. Di lingkungan alam yang jauh dari sumber air alamiah (sungai, danau), pola pertanian ladang berpindah dan tadah hujan mungkin menjadi pilihan terbaik. Namun sejumlah teknik lain bisa dilakukan untuk mengatasi kesulitan akan sumber air tersebut – pengadaan sumber air (bendungan, dan sistem irigasi); pemilihan jenis tanaman yang membutuhkan sedikit air; penggunaan pupuk atau bahan kimia lain yang bisa meningkatkan kusuburan tanah yang kering; dan pola tanam yang tidak membutuhkan banyak air. Ketika segala sesuatu yang dilakukan oleh petani dalam proses adaptasi dengan lingkungan tersebut menjadi pengetahuan yang dibagi (shared) maka ‘kebudayaan’ petani lahan kering terbentuk.
Interaksi antar sesama anggota masyarakat di suatu tempat juga merupakan hal yang penting untuk diamati. Interaksi antara guru dan murid dalam sebuah ruang kelas menjadi data penting untuk menggambarkan bagaimana sebuah proses belajar di dalam kelas berlangsung. interaksi antara penjual dan pembeli dalam sebuah pasar sayur merupakan data penting untuk menggambarkan bagaimana sebuah harga ditentukan dalam proses tawar menawar. Demikian pula halnya dengan interaksi antar-anggota keluarga di dalam rumah, antara umat dan pastor di dalam gereja.
Ketika seorang anak sedang berbicara dengan orangtuanya di dalam rumah, cara bicara dan isi pembicaraan menjadi data penting untuk melihat bagaimana nilai-nilai budaya dikontestasikan – bagaimana anak ‘melawan’ atau tidak setuju terhadap alasan dan pendapat orangtuanya; bagaimana orangtua ‘memaksakan’ nilai-nilai pada anaknya; atau sebuah kesepakatan terjadi diantara mereka. Pengamatan terhadap interaksi antar-anggota keluarga ini bisa dilakukan ketika mereka sedang berada dalam kesempatan yang sama – saat makan, melakukan pekerjaan rumahtangga, bekerja di kebun.
Pengamatan partisipatif
Dalam penelitian etnografi dikenal metode pengamatan partisipatif (participant observation) – sebuah pengamatan yang melibatkan peneliti di dalamnya. Dalam pengamatan partisipatif seorang peneliti diharuskan untuk hadir dan ikutserta dalam kegiatan yang tengah dilakukan oleh informan pada lingkungan alamiahnya (natural setting) – sering juga disebut dengan istilah ‘pengamatan terlibat’. Dengan melibatkan diri di tengah kegiatan tersebut peneliti juga bisa ikut mengalami bersama dengan informan. Dari pengalaman bersama ini diharapkan peneliti bisa mengenal informan dengan lebih baik – berkenaan dengan data untuk menggambarkan ‘other’.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di laboratorium, pengamatan partisipatif ini juga memberikan kesempatan peneliti untuk bisa mengalami lingkungan alamiah informan – proses adaptasi terhadap lingkungan menjadi sebuah pengalaman nyata yang juga dialami secara langsung oleh peneliti. Dengan ikut terlibat dalam kegiatan pertanian – ikut membuka lahan, mencangkul atau memanen hasil kebun – seorang peneliti bisa mendapatkan gambaran tentang ‘menjadi petani’ secara langsung. Pengamatan langsung dilakukan di dalam lingkungan alamiahnya (setting sawah atau ladang), bahkan juga mengalaminya secara langsung – bagaimana memilih cabai dan tomat yang sudah bisa dipetik, bagaimana memilih bibit padi yang baik, bagaimana mengatur air yang mengalir ke sawah agar sesuai dengan jenis padi yang ditanam.
Tinggal di rumah sebuah keluarga adalah sebuah bentuk pengamatan terlibat – untuk bisa menggambarkan bagaimana interaksi antara orangtua dan anak, bagaimana nilai-nilai dikontestasikan dalam sebuah keluarga, bagaimana tradisi ‘dipertahankan’ atau ‘berubah’ dalam sebuah keluarga. Kegiatan seluruh anggota keluarga akan teramati bila peneliti ikut tinggal bersama mereka dalam satu rumah. Keterlibatan peneliti dalam banyak kegiatan rumahtangga akan berpengaruh pada ‘kedalaman’ hasil pengamatan – apalagi keterlibatan tersebut berlangsung di lingkungan alamiah mereka.
Menurut Bernard (1994:171-4), setidaknya terdapat 5 (lima) permasalahan yang mempengaruhi jenis dan kualitas data sebagai seorang pengamat partisipatif, yaitu:
1. karakteristik pribadi /personal – termasuk di dalmnya kemapuan untuk bergaul, mengatur emosi, mengelola situasi yang nyaman.
2. kelancaran bahasa – termasuk kemampuan untuk menggunakan bahasa lokal, termasuk juga bahasa tubuh.
3. obyektivitas – yang berarti menjadi waspada terhadap ‘bias’ yang terdapat baik di pihak informan, mau pun peneliti.
4. keakuratan informan – sejauh mana informan memberikan data yang ‘benar’; ‘kejujuran’ dan ‘kebohongan’ informan menjadi permasalahan utama di dalamnya
5. representativitas informan – termasuk di dalamnya adalah alasan mengapa seseorang dipilih menjadi informan; apakah informan dianggap mewakili masyarakatnya.
Seorang peneliti etnografi harus membangun hubungan yang akrab dengan anggota masyarakat di dalam setting di mana penelitian dilakukan – dalam kegiatan UFO ini peserta terutama harus membangun hubungan yang akrab dengan seluruh anggota keluarga live-in. Keterlibatan yang akrab berarti membangun kepercayaan (trust) antara peneliti dengan ‘yang diteliti’, dan seringkali juga diperlukan sebuah hubungan pertemanan yang spesial. Dalam penelitian etnografi, membangun kepercayaan juga berarti ‘membangun hubungan’ (rapport). Proses membangun hubungan ini tergantung pada posisi peneliti – sebagai ‘orang dalam’ (insider) atau orang yang sudah dikenal, dan punya peran dan hubungan yang mapan dengan ‘yang diteliti’; atau ‘orang luar’ (outsider) yang tidak pernah dikenal sebelumnya; atau rekanan (partner) dalam hubungan kerjasama dengan ‘yang diteliti’. Kepercayaan tidak dibangun dalam waktu singkat – memerlukan waktu dan usaha. Diperlukan waktu dan usaha yang lebih besar ketika peneliti dipersepsikan ‘berbeda’ dengan masyarakat yang diteliti – seperti perbedaan gender, kelas sosial, kebudayaan, etnis, ras, behasa, agama, kasta atau peran. Misal: peneliti Katolik yang meneliti tentang kehidupan pesantren dengan cara tinggal di dalamnya selama beberapa waktu. Proses pembangunan dan mengelola hubungan ini berlangsung terus menerus – tidak akan berakhir sampai peneliti meninggalkan lapangan.
Meskipun partisipatif berarti ‘menenggelamkan diri’ hampir sepenuhnya di dalam kehidupan masyarakat yang diteliti, ada suatu keharusan bagi peneliti untuk ‘menarik diri’ sementara waktu untuk menuliskan catatan lapangannya – meskipun penarikan diri ini berarti hanya mengasingkan diri sementara di dalam kamar atau sebuah ruang privat saat menuliskan hasil pengamatannya. Dengan begitu peneliti bisa merekam pengalamanya dan mentransformasikannya ke dalam bentuk dokumen yang bisa dibaca dan diinterpretasikan oleh (peneliti) lainnya sebagai data ilmiah.
Wawancara
Jangan bayangkan wawancara seperti yang dilakukan oleh seorang wartawan, atau seperti yang sering terlihat dalam sebuah liputan berita di TV. Wawancara yang dilakukan oleh seorang peneliti etnografi berbeda dengan wartawan. Membayangkan sebuah perbincangan yang dilakukan untuk mengenal seseorang lebih dekat, atau ‘ngobrol’ di sebuah warung kopi dengan teman-teman mungkin lebih tepat bila ingin menggambarkan wawancara yang dilakukan oleh seorang peneliti etnografi.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya tentang membangun hubungan, ‘ngobrol’ dalam penelitian etnografi ini juga bisa dilihat sebagai sebuah proses membangun kepercayaan. Peneliti bukan satu-satunya pihak yang selalu bertanya, informan pun bisa melakukan hal yang sama. Kedua belah pihak saling membangun kepercayaan dengan ‘ngobrol’. Karenanya, penting bagi peneliti untuk menempatkan diri sebagai teman bagi informan – bukan sebagai musuh, atau polisi yang sedang menginterogasi.
Contoh kasus : Penelitian mengenai penebangan liar di Kalimantan Tengah. Pada minggu pertama di lapangan, informan masih selalu bertanya untuk apa peneliti melakukan penelitian di tempat tinggalnya. Informan pun selalu mengatakan bahwa saat ini masyarakat desa sudah tidak lagi melakukan penebangan liar. Sementara peneliti selalu meyakinkan bahwa penelitian ini dilakukan untuk mencari matapencaharian alternatif yang bisa menggantikan penebangan liar. Pada akhir minggu kedua di lapangan, peneliti diajak oleh informan untuk melihat jalur-jalur yang dipakai untuk mengangku kayu hasil tebangan liar. Pada minggu ketiga, informan mengajak peneliti untuk melihat lokasi penebangan liar dan menemui penduduk desa yang masih melakukan penebangan liar. Selama dua minggu peneliti berusaha meyakinkan informan bahwa penelitian dilakukan untuk mencari matapencaharian alternatif dengan melihat areal ladang, pemeliharaan ikan di keramba, lokasi perkebunan karet dan sawit masyarakat, dan usaha penambangan liar di sekitar desa. Tidak pernah sedikit pun peneliti memberikan pendapat buruk tentang penebangan liar – apalagi menuduh informan sebagai pencuri kayu. Selama penelitian peneliti tinggal di rumah informan, dan ikut serta dalam seluruh kegiatan rumahtangga temasuk memasak dan berbelanja.
Wawancara bisa dilakukan dalam berbagai situasi – formal, dan informal. Bagi seorang peneliti etnografi, bisa melakukan wawancara adalah suatu keharusan. Dan menjadi keharusan pula bagi seorang peneliti etnografi untuk bisa membuat informan untuk mau bercerita panjang lebar tentang segala hal yang ditanyakan. Wawancara di sini lebih diartikan sebagai kegiatan ‘berbincang-bincang’ atau ‘ngobrol’ dengan informan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya.
Dalam lingkungan alamiahnya (natural setting) informan adakalanya sedang bersama dengan orang lain – misal: sedang di rumah bersama anggota keluarga lainnya, sedang bekerja bersama menggarap tanah di ladang, atau bahkan ia mengundang teman dan kerabatnya untuk ‘ngobrol’ bersama dengan peneliti. Peneliti sebagai tamu di lingkungan informan tidak bisa mengatur situasi menjadi ‘ideal’. Kehadiran orang lain akan berpengaruh pada kualitas data – yang mungkin menjadi sebuah ‘kesepakatan’ bersama dengan teman dan kerabat yang hadir. ’Jaim’ (‘jaga image’) mungkin menjadi istilah yang tepat untuk menggambarkan sikap informan ketika wawancara dilakukan di antara teman dan kerabat lainnya. Kepekaan peneliti untuk menangkap situasi dan kemampuannya untuk mengatur strategi bertanya menjadi sangat diperlukan dalam keadaan demikian. Dalam penulisan laporan, kehadiran orang lain dan suasana ketika wawancara dilakukan juga menjadi data penting.
Wawancara mendalam
‘Wawancara mendalam’ (in-depth interview) adalah istilah yang sering dipakai pada metode pengumpulan data di mana seorang peneliti etnografi akan mengajukan bertanyaan yang memerlukan ‘kedalaman’ jawaban dari seorang informan. ‘Wawancara mendalam’ diharapkan bisa memberikan penjelasan ‘mengapa’ – yang akhirnya membuat peneliti mengetahui mengapa seseorang melakukan sesuatu. Sebuah penjelasan adalah jawaban dari sebuah pertanyaan ‘mengapa’ (Ember & Ember, 1990:203). ‘Wawancara mendalam’ hanyalah salah satu metode yang dipakai dalam etnografi untuk mendapatkan penjelasan mengapa seseorang melakukan sesuatu. Dalam ‘wawancara mendalam’, peneliti tidak akan puas dengan satu jawaban informan. Peneliti akan terus bertanya sampai ia merasa bahwa jawaban informan sudah memberikan penjelasan tentang sesuatu yang menjadi alasan mengapa ia melakukan sesuatu, atau menjelaskan alasan dibalik suatu pilihan dan keputusan yang diambilnya.
Kebanyakan ‘wawancara mendalam’ justru dilakukan dalam berbagai situasi informal. Ketika peneliti mewawancarai informan seorang guru di tempatnya mengajar, maka ia akan berhadapan dengan situasi formal. Bukan hanya karena lokasi di mana wawancara berlangsung adalah sebuah sekolah, namun peneliti dan informan ‘hanya’ bisa berbincang saja – mungkin dengan duduk berhadapan di ruang guru, atau ruang penerima tamu. Namun ketika peneliti bertemu dengan informan di rumahnya pada sore hari, suasana formal ruang sekolah tidak akan terasa lagi. Mungkin informan bisa ditemui dalam keadaan santai, tidak lagi mengenakan seragam guru, dan bisa berbicara lepas karen tidak takut pembicaraannya akan didengar oleh rekan kerja lainnya. Ketika informan ditemui dalam suasana informal, ia akan menjadi ‘dirinya sendiri’.
Kedekatan hubungan antara peneliti etnografi dan informan akan berpengaruh pada kegiatan wawancara mendalam. Ada jarak yang jelas di antara keduanya – bahwa seorang peneliti tidak akan pernah menjadi sekaligus seorang informan. Bernard (1994: 168-179) menjelaskan ‘penyamaan’ identitas keduanya hanya pada permasalahan pendekatan hubungan – bahwa seorang peneliti yang berstatus seorang ibu rumahtangga bisa jadi akan lebih mudah mendekati seorang informan yang juga seorang ibu rumahtangga. Namun peneliti tetap harus waspada terhadap ‘bias’ – karena permasalahan rumahtangga di antara keduanya pasti tidak sama. Kedekatan di dalam penelitian etnografi bukan berarti harus ‘melibatkan diri’ di dalam permasalahan informan – memahami permasalahan informan bukan berarti harus terlibat di dalamnya.
Contoh kasus : Dalam sebuah penelitian tentang penambangan ilegal masyarakat di Kelian Dalam, Kalimantan Timur, wawancara dengan ibu rumahtangga diperlukan untuk mengetahui situasi ekonomi keluarga pelaku penambangan. Pada hari pertama wawancara dilakukan di warung sebelah rumah informan yang ketika itu sedang berbelanja. Informasi yang didapatkan hanya berupa besarnya uang yang bisa dibelanjakan oleh rumahtangga informan hari itu. Namun setelah beberapa hari dilakukan pendekatan, dalam sebuah kesempatan memasak bersama informan, di dapat keterangan tentang pola pengelolaan keuangan rumahtangga sebuah keluarga pengusaha tambang ilegal – termasuk kebiasaan berhutang di warung yang baru akan dibayarkan setelah emas hasil penambangan dijual di Samarinda.
Bagi kebanyakan orang, kebiasaan berhutang – apalagi untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga – merupakan sebuah aib yang tidak boleh diceritakan kepada orang lain. ‘Gengsi’ dan harga diri menjadi alasan mengapa hutang tidak boleh diceritakan kepeda orang lain. Namun informasi tentang hutang sangat penting dalam penelitian ini, karena bisa menjadi salah satu jawaban mengapa penambangan ilegal masih terus dilakukan hingga saat ini.
Membangun kedekatan dengan informan menjadi hal pertama yang dilakukan oleh seorang peneliti yang ingin mendapatkan data yang lebih mendalam. Partisipasi peneliti dalam banyak kegiatan bersama informan merupakan salah satu usaha yang bisa dilakukan untuk membangun kedekatan. Wawancara mendalam dan pengamatan partisipatif menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam penelitian etnografi, dan bisa dilakukan dalam saat yang bersamaan.
Wawancara mendalam yang baik juga menuntut pewawancara untuk memiliki ingatan yang waspada, pemikiran yang logis dan kemampuan komunikasi yang bagus. Dalam setiap kesempatan wawancara, pewawancara harus:
• Menyimpan di dalam ingatan bagaimana topik-topik berhubungan dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang lebih luas, yang menjadi pertanyaan penelitian.
• Menentukan apakah orang yang diwawancara memahami topik yang ditanyakan – bila tidak pewawancara harus memperkenalkan topik tersebut lebih dulu.
• Memahami apakah hubungan-hubungan logis yang diwawancara sejalan dengan yang dimiliki oleh pewawancara.
• Menentukan apakah perlu untuk meneruskan arah dan ide-ide baru pada saat wawancara.
• Menjelaskan makna dari istilah-istilah yang dipakai dalam pertanyaan – baik menjelaskannya kepada yang diwawancara, maupun menjelaskan kepada pihak lain (pembaca laporan etnografi) pada saat menuliskan catatan lapangan.
• Mengenali ketika ide-ide orang yang diwawancara dikemukakan, dan menjelaskannya secara rinci dengan cara yang bisa dipahami oleh semua orang yang membaca catatan atau transkrip hasil wawancara.
Menjadi seorang peneliti etnografi
Observasi dan wawancara merupakan hal utama yang menjadi tugas seorang peneliti etnografi, yang tampaknya bisa dilakukan oleh siapa saja – yang memiliki keingintahuan yang besar terhadap kehidupan kelompok masyarakat lainnya. Namun ada hal lain yang tak kalah penting yang menjadi ‘persyaratan’ utama bila seseorang ingin menjadi seorang peneliti etnografi. LeCompte dan Schensul (1999:162-176) menguraikan tentang cara kerja dan kepribadian seorang peneliti etnografi yang baik.
Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang peneliti etnografi:
• Seorang peneliti etnografi harus senang berinteraksi dengan banyak orang, bahkan seringkali secara intensif. Seorang peneliti etnografi harus bisa mendengarkan. Dalam beberapa kasus kehadiran dalam jangka waktu panjang dibutuhkan untuk mendengarkan seorang informan yang pendiam – butuh ketekunan untuk membuat seorang pendiam bisa bicara banyak.
• Seorang peneliti etnografi harus senang memberikan pertolongan. Seringkali informan juga meminta peneliti untuk menolongnya melakukan sesuatu dalam sebuah situasi sulit. Memberikan pertolongan ini merupakan suatu ‘imbalan’ atas informasi yang diberikan oleh informan.
• Seorang peneliti etnografi harus punya rasa ingin tahu yang besar, dan menunjukkannya dengan bertanya kepada informan tentang permasalahan penelitian dalam kesempatan forman dan informal. Latihan bertanya – terutama untuk pertanyaan yang bersifat pribadi, terutama kepada orang yang sama sekali asing dan baru dikenal – diperlukan untuk menjadi seorang peneliti etnografi yang baik.
• Seorang peneliti lapangan yang baik umumnya adalah seorang yang pandai bergaul yang senang berbincang dengan orang lain dan tidak berkeberatan bertanya banyak tentang banyak hal yang sifatnya personal. Keterampilan dalam pengamatan juga sangat membantu dalam penelitian lapangan; peneliti yang bisa menemukan informasi melalui interaksi antar-personal harus bisa untuk ‘berdiri di belakang’ dan mengamati apa yang terjadi tanpa terpengaruh untuk terlibat dalam interaksi tersebut.
• Seorang peneliti etnografi juga adalah seorang ‘pembelajar’ yang baik. Lebih baik bagi seorang peneliti untuk menunjukkan sikap ‘ingin belajar’ daripada ‘sok tahu’. Sikap ‘sok tahu’ akan membuat informan tidak akan menerangkan banyak hal kepada peneliti. Padahal apa yang diterangkan oleh informan bisa menjadi jawaban atas pertanyaan penelitian bagi peneliti.
• Fleksibel dan tidak dogmatis, dan kemampuan untuk hidup di dalam ‘ketidakjelasan situasi’ juga diperlukan oleh peneliti etnografi. Seorang peneliti etnografi seringkali dihadapkan pada situasi di mana aturan-aturan budaya untuk bersikap dan berpikir masyarakat setempat sangat berbeda dengan yang diyakininya selama ini – bahkan mungkin bertolak belakang. Pada situasi semacam ini seorang peneliti harus bisa mengambil keputusan yang terbaik untuk kedua belah pihak.
• Penelitian etnografi memubutuhkan seorang peneliti etnografi yang bisa membangun hubungan kerja dan hubungan pribadi yang baik dengan, dan di antara kelompok masyararakat dengan pendapat, gaya hidup (lifestyles), dan situasi sosiopolitik yang berbeda bahkan seringkali bertentangan, sementara dalam waktu yang bersamaan harus mengendalikan konflik di dalam dan antar kelompok yang tidak dapat terelakkan sehingga bisa dihasilkan hasil penelitian yang baik.
• Dibutuhkan juga kreativitas untuk menghadapi situasi mendadak yang bisa membuat rencana penelitian berubah. Seorang peneliti tidak bisa mengatur situasi sesuai dengan kemauannya sendiri – yang bisa dilakukan adalah mengatasi situasi yang tidak sesuai dengan rencana. Ketika berhadapan dengan seorang informan yang tidak dikenal, seorang peneliti harus siap menghadapi apa pun yang akan dilakukan olehnya – misal berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
• Peneliti lapangan yang baik harus memahami arena kebudayaan yang akan diteliti dan segala kemungkinan faktor-faktor kontekstual yang potensial berhubungan atau berpengaruh pada hal tersebut.
• Peneliti yang baik harus bisa menerjemahkan apa yang dilihatnya (di lapangan) kedalam teks – baik secara lisan maupun tertulis. Tidak terlalu penting untuk seorang peneliti bisa menuliskan teks secara detail. Tetapi amat penting bagi seorang penelitiuntuk bisa memperbincangkan, mengingat kembali, dan merekam detail secara obyektif, tanpa dikacaukan oleh pertimbangan nilainya sendiri.
• Tidak semua orang bisa menjadi seorang peneliti etnografi, namun dengan sejumlah pelatihan dan pengalaman kemampuan seorang peneliti etnografi bisa dibentuk.
Peneliti dan informan: sebuah negosiasi identitas
Peneliti dan informan adalah dua identitas yang berbeda dan ‘jelas’ batasnya – yang satu tidak akan menjadi lainnya, meskipun bisa ‘bertukar tempat’. Namun dalam penelitian etnografi ada usaha untuk mendekatkan ‘jarak’ keduanya berkenaan dengan data. Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan ‘menyamakan’ identitas – misal: ‘sama-sama’ Umat Katolik, ‘sama-sama’ orang Sunda, ‘sama-sama’ Orang Cigugur, ‘sama-sama’ laki-laki. ‘Kesamaan’ diharapkan akan bisa mendekatkan identitas lainnya – antara peneliti dan informan. Membuat ‘kesamaan’ ini juga merupakan salah satu strategi yang bisa dipilih oleh peneliti di lapangan sebagai upaya membangun kedekatan (rapport).
Seseorang bisa memiliki lebih dari satu identitas atau multiple identity yang terjadi karena adanya tempat aktivitas yang berbeda. Identitas seseorang atau sekelompok orang dihasilkan secara simultan dalam banyak tempat aktivitas yang berbeda, oleh unsur-unsur yang berbeda, untuk beberapa tujuan yang berbeda pula. Identitas seseorang dalam kaitannya dengan tempat dimana ia hidup – di antara tetangga, teman-teman dan keluarga – hanyalah satu konteks sosial dan mungkin bukanlah suatu hal yang penting dalam pembentukan identitas. Adanya beberapa unsur yang beragam dalam proses penyebaran identitas, berubah-ubah, representasi yang berhubungan dalam tempat yang berbeda dari pembentukan karakter yang berbeda, itulah yang harus dipahami sebagai fakta sosial (Marcus,1994:46). Dalam hal ini identitas ‘peneliti’ dan ‘informan’ merupakan suatu pilihan berkenaan dengan kegiatan penelitian etnografi.
‘Mahasiswa’, ‘tamu’, ‘umat Katolik’, dan ‘frater’ merupakan beberapa pilihan yang bisa menjadi identitas para peserta UFO. Identitas adalah pemikiran atau konsep yang menjelaskan tentang individu sebagai bagian dari kolektif tertentu. Seseorang bisa memiliki lebih dari satu identitas yang berkenaan dengan kolektif. Artinya seseorang bisa menjadi anggota dari lebih dari satu kolektif; dan bisa memilih salah satu identitas pada suatu saat dan berganti pada identitas lainnya pada saat yang lain. Identitas dilihat sebagai suatu bentuk yang cair dan merupakan suatu bentuk ekspresi (Lash & Friedman, ed., 1992). Pemilihan identitis ini juga tidak lepas dari ‘kepentingan’ – untuk apa identitas tersebut dipilih.
Identitas (yang dipilih) peneliti juga tidak bisa lepas dari persepsi informan tentang identitas tersebut – bagaimana informan mempersepsikan identitas peneliti. Ketika seorang peneliti adalah seorang pastor maka informan tidak bisa menghilangkan persepsi tentang seorang ‘pemuka agama’ dari benaknya. Apalagi bila informan adalah seorang umat Katolik. Dalam situasi ini identitas ‘pastor’ milik peneliti sangat berpengaruh pada informan. Di satu sisi peneliti sebagai pastor bisa mendapatkan berbagai kemudahan, karena umat banyak memberikan bantuan informasi. Di sisi lain umat mungkin tidak memberikan jawaban ‘sebenarnya’ – ada unsur ‘jaim’, dan ‘tidak enak pada pastor’. Peneliti yang sorang pastor tidak mungkin mendapat jawaban yang ‘sebenarnya’ bila pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan kepemimpinan – mungkin sulit bagi umat untuk bisa menyebutkan hal-hal buruk berkaitan dengan kepemimpinan pastor paroki di hadapan peneliti yang seorang pastor.
Sama halnya dengan posisi frater sebagai peneliti. Meskipun belum sepenuhnya menjadi pastor, namun umat sudah memiliki konstruksinya sendiri tentang ‘seorang frater’ di kepalanya. Perlakuan umat tentu akan berbeda bila peneliti bukan seorang frater, atau bahkan bukan ‘orang Katolik’. Frater juga menemukan posisi yang berbeda ketika yang menjadi informannya adalah seorang pastor, pastor paroki, atau uskup. Identitas ‘peneliti’ mngkin menjadi hal yang tidak mudah untuk dipilih ketika harus mewawancarai para ‘petinggi’. Namun ketika permasalahan yang diteliti berkenaan dengan kebijakan gereja, pastor dan juga uskup menjadi informan kunci yang harus diwawancarai secara mendalam – bagaimana mereka menentukan kebijakan.
Sebagai ‘insider’ – seperti disebutkan pada halaman sebelumnya – pastor dan frater sudah punya posisi mapan, yakni sebagai ‘gembala’, dan pemuka agama. Posisi peneliti baru akan berlaku bila pastor atau frater melakukan penelitian etnografi. Dan pada saat itu proses negosiasi identitas terjadi – antara peneliti dan ‘pemuka agama’. Dengan berbagai kepentingan (penelitian, kemudahan memperoleh data, kepemimpinan, tugas penggembalaan, dan ‘pelayanan dari umat’) menjadi pertimbangan pemilihan identitas. Peneliti yang baik harus bisa memilih identitas pada saat yang tepat.
Penutup
Seseorang tidak akan menjadi seorang peneliti etnografi hanya dalam waktu 5 (lima) hari – selama kegiatan UFO berlangsung. Sebagaimana dikemukakan oleh LeCompte dan Schensul (1999:162-176), dibutuhkan pelatihan, dan pengalaman yang panjang bagi seseorang untuk bisa menjadi seorang peneliti etnografi yang baik. Diharapkan usaha untuk menjadi seorang peneliti etnografi tidak hanya berhenti sampai di sini. Masih ada banyak kesempatan bagi peserta untuk melanjutkan pengalaman meneliti di tempatnya bertugas kelak – di paroki, di tengah-tengah umat.
Proses belajar tidak akan berhenti setelah sekolah usai. Romo Mangunwijaya mengatakan bahwa ‘belajar sejati’ akan terus berlangsung selama seseorang punya kesadaran diri untuk memperhatikan, mempelajari dan menekuni tentang segala hal yang dialaminya sehari-hari secara terus menerus. Romo Mangunwijaya menyebut proses ‘belajar sejati’ sebagai proses belajar seumur hidup. Diharapkan pengalaman live-in ini menjadi awal dari proses belajar yang tak akan pernah berhenti. Tentu diharapkan pula akan munculnya kesadaran diri untuk memperhatikan, mempelajari dan menekuni segala hal yang dialami sehari-hari bersama umat untuk membangun gereja.
Daftar Pustaka
Angrosino, Michael V. & Kimberly A. Mays de Perez
2000 Rethinking Observation: From Methods to Context, dalam Denzin & Lincoln (ed.) Handbook of Qualitative Research, California: Sage Publication, hlm. 673-96.
Bernard, H. Russel
1994 “Methods Belong to All of Us”, dalam Robert Borofsky (peny.) Assessing Cultural Anthropology, New York: McGraw-Hill,Inc hlm.168-179.
Burroughs, Catherine B, Jeffrey David Ehrenreich (ed.)
1994 Reading the Social Body, Iowa: University of Iowa Press.
Ember, Carol R. & Melvin Ember
1990 Anthropology, New Jersey: Prentice Hall, 6th ed.
Ervin, Alexander M.
2000 Applied Anthropology: Tools and Perspectives for Contemporary Practice, Boston: Allyn & Bacon.
Fine, Michelle
1994 Working the Hyphen: Reinventing Self and Other in Qualitative
Research”, dalam Denzin & Lincoln (ed.) Handbook of Qualitative Research, California: Sage Publication (70-82).
Goffman, Erving
1959 The Presentation of Self in Everyday Life, New York, Penguin Books.
Lash, Scott & Jonathan Friedman (ed.)
1992 Modernity and Identity, Oxford: Blackwell.
LeCompte, Margaret D. & Jean J. Schensul
1999 Designing and Conducting Ethnographic Research, Walnut Creek: Altamira Press.
Marcus, George E.
1994 “After the Critique of Ethnography: Faith, Hope, and Charity, But the Greatest of These Is Charity”, dalam Robert Borofsky (ed.) Assessing Cultural Anthropology, New York: McGraw-Hill, Inc. , hlm.40-54.
Pradipta, Yosef Dedy
2004 Pendidikan dan Negara sebagai Kontestasi Kekuasaan, Disertasi, Universitas Indonesia, Depok: tidak diterbitkan.
Schensul, Stephen L, Jean J. Schensul & Margaret D. LeCompte
1999 Essential Ethnographic Methods: Observations, Interviews and Questionairs, Walnut Creek: Altamira Press.
Etnografi menggunakan peneliti sebagai alat pengumpulan data – melalui indera (penglihatan, pendengaran, perasa) dan kemampuan untuk berkomunikasi. Dengan alasan tersebut pada bagian ini akan diuraikan beberapa hal yang menjadi perhatian bila seseorang akan melakukan penelitian atau ‘menjadi seorang peneliti’ etnografi.
Pertanyaan dan rencana penelitian
Penelitian selalu berawal dari sebuah pertanyaan penelitian. Tidak mungkin seorang melakukan suatu penelitian bila tidak ada pertanyaan di kepalanya. Penelitian dilakukan untuk menemukan jawaban atas suatu pertanyaan. Seorang peneliti etnografi harus bisa merumuskan suatu pertanyaan penelitian yang nantinya akan dicari jawabannya melalui penelitian. Merumuskan di sini berarti mengolah permasalahan menjadi sebuah pertanyaan yang ‘layak’ dan ‘bisa’ dicari jawabannya melalui penelitian – tentunya dengan segala keterbatasan ikut serta di dalamnya. Termasuk di dalam rumusan permasalahan adalah pertanyaan “untuk apa nantinya penelitian ini dilakukan?”.
Pertanyan penelitian etnografi selalu berhubungan dengan masyarakat, lembaga atau kelompok – berkenaan dengan interaksi manusia. Penelitian etnografi juga menggunakan lingkungan alamiah ‘yang diteliti’ sebagai tempatnya. Penelitian etnografi melibatkan serangkaian teknik pengumpulan data yang dipakai bersamaan untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan. Hal-hal tersebut hanya sebagian dari banyak permasalahan yang harus dipertimbangkan oleh peneliti ketika merumuskan sebuah pertanyaan penelitian.
Setelah sebuah pertanyaan berhasil dirumuskan, maka menjadi tugas peneliti etnografi pula untuk menyusun rencana penelitian. Termasuk di dalam penyusunan rencana ini adalah menentukan data apa yang akan dicari untuk bisa menjawab pertanyaan, dan bagaimana cara pengumpulan data akan dilakukan. Validitas dan reliabilitas menjadi hal terpenting yang harus dipertimbangkan dalam pengumpulan data. Selain itu keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya menjadi hal lain yang juga harus dipertimbangkan ketika seorang peneliti menyusun rencana penelitian.
Pertanyaan penelitian menjadi penuntun peneliti untuk mendapatkan informasi di lapangan, dengan teknik pengumpulan data sesuai rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketika ‘ngobrol’ dengan informan dilakukan, pertanyaan penelitian harus tetap diingat oleh peneliti – karena berhubungan dengan informasi yang harus didapatkan. Peneliti bisa bertanya tentang segala hal sejauh berhubungan dan signifikan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Misal: pertanyaan-pertanyaan tentang perilaku seks di kalangan remaja – menjadi signifikan untuk menjawab pertanyaan penelitian ‘bagaimana penyebaran HIV/ AIDS di kalangan pengguna narkoba’. Tetapi pertanyaan-pertanyaan tentang perilaku seks di kalangan remaja tersebut tidak signifikan untuk menjawab pertanyaan penelitian ‘matapencaharian apa yang sesuai untuk menggantikan pekerjaan penebang liar di Kalimantan Tengah’.
Dalam kegiatan UFO kali ini, peserta tidak akan mengalami proses rumit berkenaan dengan perumusan masalah dan penyusunan rencana penelitian. Peserta hanya diajak untuk mengalami bagaimana seorang peneliti melakukan observasi dan wawancara. Observasi dan wawancara merupakan metode yang paling sering dipakai untuk mengumpulkan data dalam penelitian etnografi. Pertimbangan tersebut menjadi alasan untuk memberikan gambaran bagaimana seorang peneliti etnografi ‘sebaiknya’ melakukan observasi dan wawancara.
Observasi
Semua hal yang teramati dan tertangkap oleh indera manusia bisa menjadi data yang menggambarkan ‘yang lain’ (others). Untuk itu dibutuhkan kepekaan dalam mengamati segala sesuatu hal di lapangan. Kepekaan di sini adalah kemampuan peneliti untuk ‘mengenal yang lain’ – segala hal yang mereka lakukan dalam berinteraksi, baik dengan sesamanya, juga lingkungannya. Bagaimana sebuah kelompok masyarakat di suatu daerah saling berinteraksi, dan kemudian saling berbagi pengetahuan, cara hidup, perilaku, nilai – dan banyak hal lainnya yang akhirnya disebut sebagai sebuah ‘kebudayaan’.
Termasuk yang diamati dalam kegiatan observasi ini adalah lingkungan tempat tinggal mereka – bagaimana lingkungan juga memberi pengaruh pada kebudayaan. Ketika petani menjadi sebuah kelompok masyarakat yang akan diteliti, maka kualitas, kontur (tinggi rendah tanah), dan berbagai hal yang berkaitan dengan tanah menjadi penting untuk diamati. Termasuk juga kualitas air, sumber air, curah hujan, dan segala sesuatu yang berpengaruh pada tingkat kesuburan merupakan hal penting lainnya. Hal yang sama juga terjadi pada jenis tanaman, pola tanam, teknik penanaman – yang tentunya juga dipengaruhi oleh kondisi tanah dan air. Kondisi lingkungan alam akan berakibat pada pola-pola adaptasi petani berkaitan dengan berbagai aspek pertanian – pemilihan jenis tanaman, berbagai teknik pengolahan tanah, penanaman, pemanenan hasil, hingga penjualan, dan pemanfaatan hasil. Di lingkungan alam yang jauh dari sumber air alamiah (sungai, danau), pola pertanian ladang berpindah dan tadah hujan mungkin menjadi pilihan terbaik. Namun sejumlah teknik lain bisa dilakukan untuk mengatasi kesulitan akan sumber air tersebut – pengadaan sumber air (bendungan, dan sistem irigasi); pemilihan jenis tanaman yang membutuhkan sedikit air; penggunaan pupuk atau bahan kimia lain yang bisa meningkatkan kusuburan tanah yang kering; dan pola tanam yang tidak membutuhkan banyak air. Ketika segala sesuatu yang dilakukan oleh petani dalam proses adaptasi dengan lingkungan tersebut menjadi pengetahuan yang dibagi (shared) maka ‘kebudayaan’ petani lahan kering terbentuk.
Interaksi antar sesama anggota masyarakat di suatu tempat juga merupakan hal yang penting untuk diamati. Interaksi antara guru dan murid dalam sebuah ruang kelas menjadi data penting untuk menggambarkan bagaimana sebuah proses belajar di dalam kelas berlangsung. interaksi antara penjual dan pembeli dalam sebuah pasar sayur merupakan data penting untuk menggambarkan bagaimana sebuah harga ditentukan dalam proses tawar menawar. Demikian pula halnya dengan interaksi antar-anggota keluarga di dalam rumah, antara umat dan pastor di dalam gereja.
Ketika seorang anak sedang berbicara dengan orangtuanya di dalam rumah, cara bicara dan isi pembicaraan menjadi data penting untuk melihat bagaimana nilai-nilai budaya dikontestasikan – bagaimana anak ‘melawan’ atau tidak setuju terhadap alasan dan pendapat orangtuanya; bagaimana orangtua ‘memaksakan’ nilai-nilai pada anaknya; atau sebuah kesepakatan terjadi diantara mereka. Pengamatan terhadap interaksi antar-anggota keluarga ini bisa dilakukan ketika mereka sedang berada dalam kesempatan yang sama – saat makan, melakukan pekerjaan rumahtangga, bekerja di kebun.
Pengamatan partisipatif
Dalam penelitian etnografi dikenal metode pengamatan partisipatif (participant observation) – sebuah pengamatan yang melibatkan peneliti di dalamnya. Dalam pengamatan partisipatif seorang peneliti diharuskan untuk hadir dan ikutserta dalam kegiatan yang tengah dilakukan oleh informan pada lingkungan alamiahnya (natural setting) – sering juga disebut dengan istilah ‘pengamatan terlibat’. Dengan melibatkan diri di tengah kegiatan tersebut peneliti juga bisa ikut mengalami bersama dengan informan. Dari pengalaman bersama ini diharapkan peneliti bisa mengenal informan dengan lebih baik – berkenaan dengan data untuk menggambarkan ‘other’.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di laboratorium, pengamatan partisipatif ini juga memberikan kesempatan peneliti untuk bisa mengalami lingkungan alamiah informan – proses adaptasi terhadap lingkungan menjadi sebuah pengalaman nyata yang juga dialami secara langsung oleh peneliti. Dengan ikut terlibat dalam kegiatan pertanian – ikut membuka lahan, mencangkul atau memanen hasil kebun – seorang peneliti bisa mendapatkan gambaran tentang ‘menjadi petani’ secara langsung. Pengamatan langsung dilakukan di dalam lingkungan alamiahnya (setting sawah atau ladang), bahkan juga mengalaminya secara langsung – bagaimana memilih cabai dan tomat yang sudah bisa dipetik, bagaimana memilih bibit padi yang baik, bagaimana mengatur air yang mengalir ke sawah agar sesuai dengan jenis padi yang ditanam.
Tinggal di rumah sebuah keluarga adalah sebuah bentuk pengamatan terlibat – untuk bisa menggambarkan bagaimana interaksi antara orangtua dan anak, bagaimana nilai-nilai dikontestasikan dalam sebuah keluarga, bagaimana tradisi ‘dipertahankan’ atau ‘berubah’ dalam sebuah keluarga. Kegiatan seluruh anggota keluarga akan teramati bila peneliti ikut tinggal bersama mereka dalam satu rumah. Keterlibatan peneliti dalam banyak kegiatan rumahtangga akan berpengaruh pada ‘kedalaman’ hasil pengamatan – apalagi keterlibatan tersebut berlangsung di lingkungan alamiah mereka.
Menurut Bernard (1994:171-4), setidaknya terdapat 5 (lima) permasalahan yang mempengaruhi jenis dan kualitas data sebagai seorang pengamat partisipatif, yaitu:
1. karakteristik pribadi /personal – termasuk di dalmnya kemapuan untuk bergaul, mengatur emosi, mengelola situasi yang nyaman.
2. kelancaran bahasa – termasuk kemampuan untuk menggunakan bahasa lokal, termasuk juga bahasa tubuh.
3. obyektivitas – yang berarti menjadi waspada terhadap ‘bias’ yang terdapat baik di pihak informan, mau pun peneliti.
4. keakuratan informan – sejauh mana informan memberikan data yang ‘benar’; ‘kejujuran’ dan ‘kebohongan’ informan menjadi permasalahan utama di dalamnya
5. representativitas informan – termasuk di dalamnya adalah alasan mengapa seseorang dipilih menjadi informan; apakah informan dianggap mewakili masyarakatnya.
Seorang peneliti etnografi harus membangun hubungan yang akrab dengan anggota masyarakat di dalam setting di mana penelitian dilakukan – dalam kegiatan UFO ini peserta terutama harus membangun hubungan yang akrab dengan seluruh anggota keluarga live-in. Keterlibatan yang akrab berarti membangun kepercayaan (trust) antara peneliti dengan ‘yang diteliti’, dan seringkali juga diperlukan sebuah hubungan pertemanan yang spesial. Dalam penelitian etnografi, membangun kepercayaan juga berarti ‘membangun hubungan’ (rapport). Proses membangun hubungan ini tergantung pada posisi peneliti – sebagai ‘orang dalam’ (insider) atau orang yang sudah dikenal, dan punya peran dan hubungan yang mapan dengan ‘yang diteliti’; atau ‘orang luar’ (outsider) yang tidak pernah dikenal sebelumnya; atau rekanan (partner) dalam hubungan kerjasama dengan ‘yang diteliti’. Kepercayaan tidak dibangun dalam waktu singkat – memerlukan waktu dan usaha. Diperlukan waktu dan usaha yang lebih besar ketika peneliti dipersepsikan ‘berbeda’ dengan masyarakat yang diteliti – seperti perbedaan gender, kelas sosial, kebudayaan, etnis, ras, behasa, agama, kasta atau peran. Misal: peneliti Katolik yang meneliti tentang kehidupan pesantren dengan cara tinggal di dalamnya selama beberapa waktu. Proses pembangunan dan mengelola hubungan ini berlangsung terus menerus – tidak akan berakhir sampai peneliti meninggalkan lapangan.
Meskipun partisipatif berarti ‘menenggelamkan diri’ hampir sepenuhnya di dalam kehidupan masyarakat yang diteliti, ada suatu keharusan bagi peneliti untuk ‘menarik diri’ sementara waktu untuk menuliskan catatan lapangannya – meskipun penarikan diri ini berarti hanya mengasingkan diri sementara di dalam kamar atau sebuah ruang privat saat menuliskan hasil pengamatannya. Dengan begitu peneliti bisa merekam pengalamanya dan mentransformasikannya ke dalam bentuk dokumen yang bisa dibaca dan diinterpretasikan oleh (peneliti) lainnya sebagai data ilmiah.
Wawancara
Jangan bayangkan wawancara seperti yang dilakukan oleh seorang wartawan, atau seperti yang sering terlihat dalam sebuah liputan berita di TV. Wawancara yang dilakukan oleh seorang peneliti etnografi berbeda dengan wartawan. Membayangkan sebuah perbincangan yang dilakukan untuk mengenal seseorang lebih dekat, atau ‘ngobrol’ di sebuah warung kopi dengan teman-teman mungkin lebih tepat bila ingin menggambarkan wawancara yang dilakukan oleh seorang peneliti etnografi.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya tentang membangun hubungan, ‘ngobrol’ dalam penelitian etnografi ini juga bisa dilihat sebagai sebuah proses membangun kepercayaan. Peneliti bukan satu-satunya pihak yang selalu bertanya, informan pun bisa melakukan hal yang sama. Kedua belah pihak saling membangun kepercayaan dengan ‘ngobrol’. Karenanya, penting bagi peneliti untuk menempatkan diri sebagai teman bagi informan – bukan sebagai musuh, atau polisi yang sedang menginterogasi.
Contoh kasus : Penelitian mengenai penebangan liar di Kalimantan Tengah. Pada minggu pertama di lapangan, informan masih selalu bertanya untuk apa peneliti melakukan penelitian di tempat tinggalnya. Informan pun selalu mengatakan bahwa saat ini masyarakat desa sudah tidak lagi melakukan penebangan liar. Sementara peneliti selalu meyakinkan bahwa penelitian ini dilakukan untuk mencari matapencaharian alternatif yang bisa menggantikan penebangan liar. Pada akhir minggu kedua di lapangan, peneliti diajak oleh informan untuk melihat jalur-jalur yang dipakai untuk mengangku kayu hasil tebangan liar. Pada minggu ketiga, informan mengajak peneliti untuk melihat lokasi penebangan liar dan menemui penduduk desa yang masih melakukan penebangan liar. Selama dua minggu peneliti berusaha meyakinkan informan bahwa penelitian dilakukan untuk mencari matapencaharian alternatif dengan melihat areal ladang, pemeliharaan ikan di keramba, lokasi perkebunan karet dan sawit masyarakat, dan usaha penambangan liar di sekitar desa. Tidak pernah sedikit pun peneliti memberikan pendapat buruk tentang penebangan liar – apalagi menuduh informan sebagai pencuri kayu. Selama penelitian peneliti tinggal di rumah informan, dan ikut serta dalam seluruh kegiatan rumahtangga temasuk memasak dan berbelanja.
Wawancara bisa dilakukan dalam berbagai situasi – formal, dan informal. Bagi seorang peneliti etnografi, bisa melakukan wawancara adalah suatu keharusan. Dan menjadi keharusan pula bagi seorang peneliti etnografi untuk bisa membuat informan untuk mau bercerita panjang lebar tentang segala hal yang ditanyakan. Wawancara di sini lebih diartikan sebagai kegiatan ‘berbincang-bincang’ atau ‘ngobrol’ dengan informan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya.
Dalam lingkungan alamiahnya (natural setting) informan adakalanya sedang bersama dengan orang lain – misal: sedang di rumah bersama anggota keluarga lainnya, sedang bekerja bersama menggarap tanah di ladang, atau bahkan ia mengundang teman dan kerabatnya untuk ‘ngobrol’ bersama dengan peneliti. Peneliti sebagai tamu di lingkungan informan tidak bisa mengatur situasi menjadi ‘ideal’. Kehadiran orang lain akan berpengaruh pada kualitas data – yang mungkin menjadi sebuah ‘kesepakatan’ bersama dengan teman dan kerabat yang hadir. ’Jaim’ (‘jaga image’) mungkin menjadi istilah yang tepat untuk menggambarkan sikap informan ketika wawancara dilakukan di antara teman dan kerabat lainnya. Kepekaan peneliti untuk menangkap situasi dan kemampuannya untuk mengatur strategi bertanya menjadi sangat diperlukan dalam keadaan demikian. Dalam penulisan laporan, kehadiran orang lain dan suasana ketika wawancara dilakukan juga menjadi data penting.
Wawancara mendalam
‘Wawancara mendalam’ (in-depth interview) adalah istilah yang sering dipakai pada metode pengumpulan data di mana seorang peneliti etnografi akan mengajukan bertanyaan yang memerlukan ‘kedalaman’ jawaban dari seorang informan. ‘Wawancara mendalam’ diharapkan bisa memberikan penjelasan ‘mengapa’ – yang akhirnya membuat peneliti mengetahui mengapa seseorang melakukan sesuatu. Sebuah penjelasan adalah jawaban dari sebuah pertanyaan ‘mengapa’ (Ember & Ember, 1990:203). ‘Wawancara mendalam’ hanyalah salah satu metode yang dipakai dalam etnografi untuk mendapatkan penjelasan mengapa seseorang melakukan sesuatu. Dalam ‘wawancara mendalam’, peneliti tidak akan puas dengan satu jawaban informan. Peneliti akan terus bertanya sampai ia merasa bahwa jawaban informan sudah memberikan penjelasan tentang sesuatu yang menjadi alasan mengapa ia melakukan sesuatu, atau menjelaskan alasan dibalik suatu pilihan dan keputusan yang diambilnya.
Kebanyakan ‘wawancara mendalam’ justru dilakukan dalam berbagai situasi informal. Ketika peneliti mewawancarai informan seorang guru di tempatnya mengajar, maka ia akan berhadapan dengan situasi formal. Bukan hanya karena lokasi di mana wawancara berlangsung adalah sebuah sekolah, namun peneliti dan informan ‘hanya’ bisa berbincang saja – mungkin dengan duduk berhadapan di ruang guru, atau ruang penerima tamu. Namun ketika peneliti bertemu dengan informan di rumahnya pada sore hari, suasana formal ruang sekolah tidak akan terasa lagi. Mungkin informan bisa ditemui dalam keadaan santai, tidak lagi mengenakan seragam guru, dan bisa berbicara lepas karen tidak takut pembicaraannya akan didengar oleh rekan kerja lainnya. Ketika informan ditemui dalam suasana informal, ia akan menjadi ‘dirinya sendiri’.
Kedekatan hubungan antara peneliti etnografi dan informan akan berpengaruh pada kegiatan wawancara mendalam. Ada jarak yang jelas di antara keduanya – bahwa seorang peneliti tidak akan pernah menjadi sekaligus seorang informan. Bernard (1994: 168-179) menjelaskan ‘penyamaan’ identitas keduanya hanya pada permasalahan pendekatan hubungan – bahwa seorang peneliti yang berstatus seorang ibu rumahtangga bisa jadi akan lebih mudah mendekati seorang informan yang juga seorang ibu rumahtangga. Namun peneliti tetap harus waspada terhadap ‘bias’ – karena permasalahan rumahtangga di antara keduanya pasti tidak sama. Kedekatan di dalam penelitian etnografi bukan berarti harus ‘melibatkan diri’ di dalam permasalahan informan – memahami permasalahan informan bukan berarti harus terlibat di dalamnya.
Contoh kasus : Dalam sebuah penelitian tentang penambangan ilegal masyarakat di Kelian Dalam, Kalimantan Timur, wawancara dengan ibu rumahtangga diperlukan untuk mengetahui situasi ekonomi keluarga pelaku penambangan. Pada hari pertama wawancara dilakukan di warung sebelah rumah informan yang ketika itu sedang berbelanja. Informasi yang didapatkan hanya berupa besarnya uang yang bisa dibelanjakan oleh rumahtangga informan hari itu. Namun setelah beberapa hari dilakukan pendekatan, dalam sebuah kesempatan memasak bersama informan, di dapat keterangan tentang pola pengelolaan keuangan rumahtangga sebuah keluarga pengusaha tambang ilegal – termasuk kebiasaan berhutang di warung yang baru akan dibayarkan setelah emas hasil penambangan dijual di Samarinda.
Bagi kebanyakan orang, kebiasaan berhutang – apalagi untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga – merupakan sebuah aib yang tidak boleh diceritakan kepada orang lain. ‘Gengsi’ dan harga diri menjadi alasan mengapa hutang tidak boleh diceritakan kepeda orang lain. Namun informasi tentang hutang sangat penting dalam penelitian ini, karena bisa menjadi salah satu jawaban mengapa penambangan ilegal masih terus dilakukan hingga saat ini.
Membangun kedekatan dengan informan menjadi hal pertama yang dilakukan oleh seorang peneliti yang ingin mendapatkan data yang lebih mendalam. Partisipasi peneliti dalam banyak kegiatan bersama informan merupakan salah satu usaha yang bisa dilakukan untuk membangun kedekatan. Wawancara mendalam dan pengamatan partisipatif menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam penelitian etnografi, dan bisa dilakukan dalam saat yang bersamaan.
Wawancara mendalam yang baik juga menuntut pewawancara untuk memiliki ingatan yang waspada, pemikiran yang logis dan kemampuan komunikasi yang bagus. Dalam setiap kesempatan wawancara, pewawancara harus:
• Menyimpan di dalam ingatan bagaimana topik-topik berhubungan dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang lebih luas, yang menjadi pertanyaan penelitian.
• Menentukan apakah orang yang diwawancara memahami topik yang ditanyakan – bila tidak pewawancara harus memperkenalkan topik tersebut lebih dulu.
• Memahami apakah hubungan-hubungan logis yang diwawancara sejalan dengan yang dimiliki oleh pewawancara.
• Menentukan apakah perlu untuk meneruskan arah dan ide-ide baru pada saat wawancara.
• Menjelaskan makna dari istilah-istilah yang dipakai dalam pertanyaan – baik menjelaskannya kepada yang diwawancara, maupun menjelaskan kepada pihak lain (pembaca laporan etnografi) pada saat menuliskan catatan lapangan.
• Mengenali ketika ide-ide orang yang diwawancara dikemukakan, dan menjelaskannya secara rinci dengan cara yang bisa dipahami oleh semua orang yang membaca catatan atau transkrip hasil wawancara.
Menjadi seorang peneliti etnografi
Observasi dan wawancara merupakan hal utama yang menjadi tugas seorang peneliti etnografi, yang tampaknya bisa dilakukan oleh siapa saja – yang memiliki keingintahuan yang besar terhadap kehidupan kelompok masyarakat lainnya. Namun ada hal lain yang tak kalah penting yang menjadi ‘persyaratan’ utama bila seseorang ingin menjadi seorang peneliti etnografi. LeCompte dan Schensul (1999:162-176) menguraikan tentang cara kerja dan kepribadian seorang peneliti etnografi yang baik.
Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang peneliti etnografi:
• Seorang peneliti etnografi harus senang berinteraksi dengan banyak orang, bahkan seringkali secara intensif. Seorang peneliti etnografi harus bisa mendengarkan. Dalam beberapa kasus kehadiran dalam jangka waktu panjang dibutuhkan untuk mendengarkan seorang informan yang pendiam – butuh ketekunan untuk membuat seorang pendiam bisa bicara banyak.
• Seorang peneliti etnografi harus senang memberikan pertolongan. Seringkali informan juga meminta peneliti untuk menolongnya melakukan sesuatu dalam sebuah situasi sulit. Memberikan pertolongan ini merupakan suatu ‘imbalan’ atas informasi yang diberikan oleh informan.
• Seorang peneliti etnografi harus punya rasa ingin tahu yang besar, dan menunjukkannya dengan bertanya kepada informan tentang permasalahan penelitian dalam kesempatan forman dan informal. Latihan bertanya – terutama untuk pertanyaan yang bersifat pribadi, terutama kepada orang yang sama sekali asing dan baru dikenal – diperlukan untuk menjadi seorang peneliti etnografi yang baik.
• Seorang peneliti lapangan yang baik umumnya adalah seorang yang pandai bergaul yang senang berbincang dengan orang lain dan tidak berkeberatan bertanya banyak tentang banyak hal yang sifatnya personal. Keterampilan dalam pengamatan juga sangat membantu dalam penelitian lapangan; peneliti yang bisa menemukan informasi melalui interaksi antar-personal harus bisa untuk ‘berdiri di belakang’ dan mengamati apa yang terjadi tanpa terpengaruh untuk terlibat dalam interaksi tersebut.
• Seorang peneliti etnografi juga adalah seorang ‘pembelajar’ yang baik. Lebih baik bagi seorang peneliti untuk menunjukkan sikap ‘ingin belajar’ daripada ‘sok tahu’. Sikap ‘sok tahu’ akan membuat informan tidak akan menerangkan banyak hal kepada peneliti. Padahal apa yang diterangkan oleh informan bisa menjadi jawaban atas pertanyaan penelitian bagi peneliti.
• Fleksibel dan tidak dogmatis, dan kemampuan untuk hidup di dalam ‘ketidakjelasan situasi’ juga diperlukan oleh peneliti etnografi. Seorang peneliti etnografi seringkali dihadapkan pada situasi di mana aturan-aturan budaya untuk bersikap dan berpikir masyarakat setempat sangat berbeda dengan yang diyakininya selama ini – bahkan mungkin bertolak belakang. Pada situasi semacam ini seorang peneliti harus bisa mengambil keputusan yang terbaik untuk kedua belah pihak.
• Penelitian etnografi memubutuhkan seorang peneliti etnografi yang bisa membangun hubungan kerja dan hubungan pribadi yang baik dengan, dan di antara kelompok masyararakat dengan pendapat, gaya hidup (lifestyles), dan situasi sosiopolitik yang berbeda bahkan seringkali bertentangan, sementara dalam waktu yang bersamaan harus mengendalikan konflik di dalam dan antar kelompok yang tidak dapat terelakkan sehingga bisa dihasilkan hasil penelitian yang baik.
• Dibutuhkan juga kreativitas untuk menghadapi situasi mendadak yang bisa membuat rencana penelitian berubah. Seorang peneliti tidak bisa mengatur situasi sesuai dengan kemauannya sendiri – yang bisa dilakukan adalah mengatasi situasi yang tidak sesuai dengan rencana. Ketika berhadapan dengan seorang informan yang tidak dikenal, seorang peneliti harus siap menghadapi apa pun yang akan dilakukan olehnya – misal berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
• Peneliti lapangan yang baik harus memahami arena kebudayaan yang akan diteliti dan segala kemungkinan faktor-faktor kontekstual yang potensial berhubungan atau berpengaruh pada hal tersebut.
• Peneliti yang baik harus bisa menerjemahkan apa yang dilihatnya (di lapangan) kedalam teks – baik secara lisan maupun tertulis. Tidak terlalu penting untuk seorang peneliti bisa menuliskan teks secara detail. Tetapi amat penting bagi seorang penelitiuntuk bisa memperbincangkan, mengingat kembali, dan merekam detail secara obyektif, tanpa dikacaukan oleh pertimbangan nilainya sendiri.
• Tidak semua orang bisa menjadi seorang peneliti etnografi, namun dengan sejumlah pelatihan dan pengalaman kemampuan seorang peneliti etnografi bisa dibentuk.
Peneliti dan informan: sebuah negosiasi identitas
Peneliti dan informan adalah dua identitas yang berbeda dan ‘jelas’ batasnya – yang satu tidak akan menjadi lainnya, meskipun bisa ‘bertukar tempat’. Namun dalam penelitian etnografi ada usaha untuk mendekatkan ‘jarak’ keduanya berkenaan dengan data. Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan ‘menyamakan’ identitas – misal: ‘sama-sama’ Umat Katolik, ‘sama-sama’ orang Sunda, ‘sama-sama’ Orang Cigugur, ‘sama-sama’ laki-laki. ‘Kesamaan’ diharapkan akan bisa mendekatkan identitas lainnya – antara peneliti dan informan. Membuat ‘kesamaan’ ini juga merupakan salah satu strategi yang bisa dipilih oleh peneliti di lapangan sebagai upaya membangun kedekatan (rapport).
Seseorang bisa memiliki lebih dari satu identitas atau multiple identity yang terjadi karena adanya tempat aktivitas yang berbeda. Identitas seseorang atau sekelompok orang dihasilkan secara simultan dalam banyak tempat aktivitas yang berbeda, oleh unsur-unsur yang berbeda, untuk beberapa tujuan yang berbeda pula. Identitas seseorang dalam kaitannya dengan tempat dimana ia hidup – di antara tetangga, teman-teman dan keluarga – hanyalah satu konteks sosial dan mungkin bukanlah suatu hal yang penting dalam pembentukan identitas. Adanya beberapa unsur yang beragam dalam proses penyebaran identitas, berubah-ubah, representasi yang berhubungan dalam tempat yang berbeda dari pembentukan karakter yang berbeda, itulah yang harus dipahami sebagai fakta sosial (Marcus,1994:46). Dalam hal ini identitas ‘peneliti’ dan ‘informan’ merupakan suatu pilihan berkenaan dengan kegiatan penelitian etnografi.
‘Mahasiswa’, ‘tamu’, ‘umat Katolik’, dan ‘frater’ merupakan beberapa pilihan yang bisa menjadi identitas para peserta UFO. Identitas adalah pemikiran atau konsep yang menjelaskan tentang individu sebagai bagian dari kolektif tertentu. Seseorang bisa memiliki lebih dari satu identitas yang berkenaan dengan kolektif. Artinya seseorang bisa menjadi anggota dari lebih dari satu kolektif; dan bisa memilih salah satu identitas pada suatu saat dan berganti pada identitas lainnya pada saat yang lain. Identitas dilihat sebagai suatu bentuk yang cair dan merupakan suatu bentuk ekspresi (Lash & Friedman, ed., 1992). Pemilihan identitis ini juga tidak lepas dari ‘kepentingan’ – untuk apa identitas tersebut dipilih.
Identitas (yang dipilih) peneliti juga tidak bisa lepas dari persepsi informan tentang identitas tersebut – bagaimana informan mempersepsikan identitas peneliti. Ketika seorang peneliti adalah seorang pastor maka informan tidak bisa menghilangkan persepsi tentang seorang ‘pemuka agama’ dari benaknya. Apalagi bila informan adalah seorang umat Katolik. Dalam situasi ini identitas ‘pastor’ milik peneliti sangat berpengaruh pada informan. Di satu sisi peneliti sebagai pastor bisa mendapatkan berbagai kemudahan, karena umat banyak memberikan bantuan informasi. Di sisi lain umat mungkin tidak memberikan jawaban ‘sebenarnya’ – ada unsur ‘jaim’, dan ‘tidak enak pada pastor’. Peneliti yang sorang pastor tidak mungkin mendapat jawaban yang ‘sebenarnya’ bila pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan kepemimpinan – mungkin sulit bagi umat untuk bisa menyebutkan hal-hal buruk berkaitan dengan kepemimpinan pastor paroki di hadapan peneliti yang seorang pastor.
Sama halnya dengan posisi frater sebagai peneliti. Meskipun belum sepenuhnya menjadi pastor, namun umat sudah memiliki konstruksinya sendiri tentang ‘seorang frater’ di kepalanya. Perlakuan umat tentu akan berbeda bila peneliti bukan seorang frater, atau bahkan bukan ‘orang Katolik’. Frater juga menemukan posisi yang berbeda ketika yang menjadi informannya adalah seorang pastor, pastor paroki, atau uskup. Identitas ‘peneliti’ mngkin menjadi hal yang tidak mudah untuk dipilih ketika harus mewawancarai para ‘petinggi’. Namun ketika permasalahan yang diteliti berkenaan dengan kebijakan gereja, pastor dan juga uskup menjadi informan kunci yang harus diwawancarai secara mendalam – bagaimana mereka menentukan kebijakan.
Sebagai ‘insider’ – seperti disebutkan pada halaman sebelumnya – pastor dan frater sudah punya posisi mapan, yakni sebagai ‘gembala’, dan pemuka agama. Posisi peneliti baru akan berlaku bila pastor atau frater melakukan penelitian etnografi. Dan pada saat itu proses negosiasi identitas terjadi – antara peneliti dan ‘pemuka agama’. Dengan berbagai kepentingan (penelitian, kemudahan memperoleh data, kepemimpinan, tugas penggembalaan, dan ‘pelayanan dari umat’) menjadi pertimbangan pemilihan identitas. Peneliti yang baik harus bisa memilih identitas pada saat yang tepat.
Penutup
Seseorang tidak akan menjadi seorang peneliti etnografi hanya dalam waktu 5 (lima) hari – selama kegiatan UFO berlangsung. Sebagaimana dikemukakan oleh LeCompte dan Schensul (1999:162-176), dibutuhkan pelatihan, dan pengalaman yang panjang bagi seseorang untuk bisa menjadi seorang peneliti etnografi yang baik. Diharapkan usaha untuk menjadi seorang peneliti etnografi tidak hanya berhenti sampai di sini. Masih ada banyak kesempatan bagi peserta untuk melanjutkan pengalaman meneliti di tempatnya bertugas kelak – di paroki, di tengah-tengah umat.
Proses belajar tidak akan berhenti setelah sekolah usai. Romo Mangunwijaya mengatakan bahwa ‘belajar sejati’ akan terus berlangsung selama seseorang punya kesadaran diri untuk memperhatikan, mempelajari dan menekuni tentang segala hal yang dialaminya sehari-hari secara terus menerus. Romo Mangunwijaya menyebut proses ‘belajar sejati’ sebagai proses belajar seumur hidup. Diharapkan pengalaman live-in ini menjadi awal dari proses belajar yang tak akan pernah berhenti. Tentu diharapkan pula akan munculnya kesadaran diri untuk memperhatikan, mempelajari dan menekuni segala hal yang dialami sehari-hari bersama umat untuk membangun gereja.
Daftar Pustaka
Angrosino, Michael V. & Kimberly A. Mays de Perez
2000 Rethinking Observation: From Methods to Context, dalam Denzin & Lincoln (ed.) Handbook of Qualitative Research, California: Sage Publication, hlm. 673-96.
Bernard, H. Russel
1994 “Methods Belong to All of Us”, dalam Robert Borofsky (peny.) Assessing Cultural Anthropology, New York: McGraw-Hill,Inc hlm.168-179.
Burroughs, Catherine B, Jeffrey David Ehrenreich (ed.)
1994 Reading the Social Body, Iowa: University of Iowa Press.
Ember, Carol R. & Melvin Ember
1990 Anthropology, New Jersey: Prentice Hall, 6th ed.
Ervin, Alexander M.
2000 Applied Anthropology: Tools and Perspectives for Contemporary Practice, Boston: Allyn & Bacon.
Fine, Michelle
1994 Working the Hyphen: Reinventing Self and Other in Qualitative
Research”, dalam Denzin & Lincoln (ed.) Handbook of Qualitative Research, California: Sage Publication (70-82).
Goffman, Erving
1959 The Presentation of Self in Everyday Life, New York, Penguin Books.
Lash, Scott & Jonathan Friedman (ed.)
1992 Modernity and Identity, Oxford: Blackwell.
LeCompte, Margaret D. & Jean J. Schensul
1999 Designing and Conducting Ethnographic Research, Walnut Creek: Altamira Press.
Marcus, George E.
1994 “After the Critique of Ethnography: Faith, Hope, and Charity, But the Greatest of These Is Charity”, dalam Robert Borofsky (ed.) Assessing Cultural Anthropology, New York: McGraw-Hill, Inc. , hlm.40-54.
Pradipta, Yosef Dedy
2004 Pendidikan dan Negara sebagai Kontestasi Kekuasaan, Disertasi, Universitas Indonesia, Depok: tidak diterbitkan.
Schensul, Stephen L, Jean J. Schensul & Margaret D. LeCompte
1999 Essential Ethnographic Methods: Observations, Interviews and Questionairs, Walnut Creek: Altamira Press.
No comments:
Post a Comment