melihat kebelakang

yaa.. seminari tinggi fermentum adalah seminari pendidikan calon imam keuskupan bandung. Perjalanan yang sangat panjang menghiasi berdirinya bangungan fisik dan bangunan rohani fermentum ini sendiri.
Selanjutnya...?

August 31, 2008

17 Agustusan di Fermentum



Ya.. peringatan 17 Agustus tidak berhenti sampai sini saja, di tingkat RT, Fermentum mengambil bagian lain lagi. Bersama dengan karang taruna RT sebagai panitia intinya, Mengadakan perlombaan-perlombaan dimana mau tidak mau, ya… para frater menjadi peserta juga. Di tingkat RT ini perlombaan yang kecil-kecil sungguh sangat banyak; dari balap karung, makan kerupuk, balap bakiak, gigit sendok, pukul air, sepak bola corong, futsal dll. Para frater menjadi peserta balap karung, balap bakiak dan futsal.. ya.. lumayan juga bisa menang lomba futsal di tingkat RT..
Hari semakin terik, bahkan hampir menjelang jam 3 sore tidak menyurutkan niat dan minat masyarakat memeriahkan 17 Agustus dengan lomba-lomba. Puncak lomba di tingkat RT ini adalah lomba panjat pinang. Semalam sebelumnya karang taruna mencari pohon pinang, karena mahal, akhirnya pak nunang (ketua RT) memutuskan untuk memakai bamboo besar saja sebagai pengganti pinang. Jadi saja semalaman semua bersusah payah mengamplas bambu itu agar tidak tajam, dan tentu saja melubangi tanah untuk bamboo besar itu sendiri.
Akhirnya panjat bamboo berhasil ditundukkan dengan kerja keras yang luar biasa. Kebersamaan, kerjasama dan kerendahhatian untuk diinjak-injak menjadi sebuah pengalaman rohani yang luar biasa di dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah perlombaan tradisional yang ketika mau dilihat lebih dalam sungguh sangat luar biasa, bahkan keindonesiaan tampak dalam permainan panjat bamboo ini. Membiarkan diri untuk diinjak, merendah dan dibawah demi tercapainya sebuah tujuan bersama yang mulia; sebuah keberhasilan. Bukankah Yesus juga menghampakan diriNya? Mengambil dalam rupa manusia yang hina dina dan sama dengan kita.. untuk menyelamatkan manusia.

Penelitian Etnografi II - Unio Frater Projo se-Indonesia

Tulisan ini juga sama dengan tulisan mengenai peneliti etnografi sebelumnya yang dibuat oleh mba titi sebagai materi utama dalam acara temu akbar frater-frater diosesan se-Indonesia (UFO). Fermentum sebagai tuan rumah acara besar ini tidak menyia-nyiakan kehebatan cara berpikir serta kebaikan mbak titi untuk dimasukkan sebagai bagian dari tim Materi yang ternyata sangat luar biasa itu. Terimaksih ya mbak..

Penelitian Etnografi
Sebuah Pengantar

Dalam istilah Yunani, ethnos, berarti masyarakat, ras atau sebuah kelompok kebudayaan, dan etnografi berarti sebuah ilmu yang menjelaskan cara hidup manusia. Pada perkembangan selanjutnya dalam etnografi terjadi banyak perdebatan tentang cara bagaimana manusia (baca peneliti – ‘self’) menjelaskan cara hidup manusia lainnya (‘yang diteliti’ – ‘other’) – termasuk di dalamnya tentang cara-cara bagaimana peneliti melihat ‘yang lainnya’ untuk kemudian ‘menceritakannya’ kepada manusia lainnya (baca: orang-orang yang ‘berkepentingan’ terhadap manusia ‘yang diteliti’). Etnografi juga diartikan sebagai sebuah pendekatan untuk mempelajari tentang kehidupan sosial dan budaya sebuah masyarakat, lembaga dan setting lain secara ilmiah, dengan menggunakan sejumlah metode penelitian dan teknik pengumpulan data untuk menghindari bias dan memperoleh akurasi data yang meyakinkan.
Bagaimana pun para ilmuwan dan peneliti sosial mengartikannya, tampak ada kesepakatan untuk mengatakan bahwa etnografi menempatkan perspektif masyarakat yang berada di dalam setting penelitian sebagai hal yang terpenting. Apa yang dilakukan orang-orang sebenarnya, dan alasan-alasan mereka melakukannya menjadi hal pertama yang harus ditemukan dalam penelitian etnografi – sebelum kita (kemudian) menentukan interpretasi atas tindakan mereka dari pengalaman atau profesionalitas atau disiplin akademis kita dalam analisa. Dalam Antropologi, interpretasi atas tindakan masyarakat tersebut kemudian ‘digunakan’ untuk menjelaskan dan terus memperdebatkan teori-teori budaya; bagi pembuat kebijakan interpretasi tersebut digunakan untuk menganalisa kebijakan.
Penelitian etnografi kadang membutuhkan waktu panjang, dan interaksi temu muka dengan masyarakat di suatu daerah dengan menggunakan sejumlah metode pengumpulan data. Pada awal abad 20 seorang peneliti etnografi bisa menghabiskan rata-rata 2-3 tahun untuk tinggal bersama dengan masyarakat di suatu daerah – karena dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang masyarakat dan kebudayaannya. Saat ini penelitian etnografi lebih difokuskan pada permasalahan lebih spesifik, tidak lagi memotret masyarakat dengan kebudayaannya yang begitu luas sehingga waktu yang diperlukan bisa menjadi lebih singkat. Permasalahan spesifik dilihat dari kacamata masyarakat yang ‘diteliti’ – misal: Penanganan penyakit menular pada masyarakat Sumba. Permasalahan yang lebih fokus akan membuat penelitian semakin mendalam, dengan tentu saja menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Namun lamanya waktu penelitian ditentukan terutama oleh metode pengumpulan data yang dipakai yang juga tergantung pada permasalahan validitas data – bukan hanya permasalahan penghematan biaya penelitian.
Kegiatan live-in sebagai program UFO kali ini akan mengajak para pesertanya untuk melihat umat Paroki Cigugur dalam lingkungan alamiahnya – bagaimana mereka hidup dan saling berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosialnya; dan bagaimana penggembalaan sebagai sebuah bentuk kebijakan dibuat dan berkembang di dalamnya. Selama berada di Cigugur para peserta akan diajak untuk mencicipi sedikit pengalaman bagaimana penelitian etnografi dilakukan. Tulisan ini dibuat sebagai pengenalan awal tentang penelitian etnografi – sebagai sebuah pendekatan untuk mempelajari kehidupan sosial dan budaya sebuah masyarakat secara ilmiah.

Etnografi, Kebudayaan dan Masyarakat
Secara umum etnografi disebut sebagai ‘menuliskan tentang kelompok masyarakat’. Secara khusus hal tersebut juga berarti menuliskan tentang kebudayaan sebuah kelompok masyarakat. Disebutkan bahwa seluruh manusia, dan juga beberapa binatang (seperti simpanse, orangutan, gorila) menciptakan, mentransmisikan, membagi, merubah, menolak, dan menciptakan kembali budaya di dalam sebuah kelompok. Semua peneliti etnografi memulai, dan mengakhiri penelitiannya dengan berfokus pada pola-pola ini, dan sifat-sifat yang ‘dipersamakan’ atau ‘disepakati’ bersama, membentuk sebuah kebudayaan masyarakat. Dokumen yang dihasilkan dari fokus tersebut disebut dengan etnografi.
Kebudayaan bukan sebuah sifat individual. Meskipun demikian seorang individu bisa disebut sebagai menciptakan pola-pola budaya dengan menemukannya dan mengkomunikasikannya dengan yang lainnya. Bentuk atau unsur budaya ada hanya ketika hal tersebut dibagi (shared) – dengan orang lain di dalam kelompok. Kebudayaan terdiri dari pola-pola perilaku dan kepercayaan kelompok yang berlangsung secara terus menerus. Karenanya, sebuah kelompok (bahkan kelompok kecil sekali pun) harus mengadopsi perilaku atau kepercayaan dan mempraktekkannya secara terus menerus jika hal tersebut akan didefinisikan sebagai sifat budaya daripada sebagai pribadi atau individual.

Contoh kasus : di sebuah sudut terminal bus, tampak seseorang yang memakai begitu banyak peniti di bajunya, bahkan di telinga dan kulitnya. Di kalangan orang yang berpakaian kemeja dan berdasi pemandangan seperti itu tampak aneh, dan orang yang memakainya seakan ‘tidak ada yang menyamai’ (unik). Bila orang tersebut tidak membaginya dengan orang lain maka hal tersebut bukan merupakan bentuk budaya. Namun ketika cara berpakaian seperti itu dibagi bersama di kalangan ‘anak punk’ maka hal tersebut merupakan sebuah bentuk kebudayaan.

Kebudayaan juga bisa diperlakukan sebagai sebuah fenomena mental, sebagai segala sesuatu yang ada dalam pengetahuan, kepercayaan, yang dipikirkan, dipahami, dirasakan, atau maksud mengapa orang melakukan sesuatu. Kebudayaan bisa diperlakukan secara perilaku dalam kerangka apa yang orang lakukan sebagaimana yang teramati, sebagaimana yang dikatakan (yang dilaporkan), atau sebagai ‘norma’ (yang diharapkan) melawan ‘praktis’ (yang aktual). Pola-pola tersebut dikenal sebagai: pola-pola dari perilaku (patterns of behaviour), dan pola-pola bagi perilaku (patterns for behaviour). Pola-pola dari perilaku merepresentasikan variasi-variasi perilaku atau pilihan-pilihan di dalam kelompok. Pola-pola bagi perilaku merepresentasikan ekspektasi budaya terhadap perilaku – apa yang diharapkan secara budaya dari perilaku seseorang.

Contoh kasus : Berbagai gaya berrnyanyi dan bergoyang dalam musik dangdut – seperti Elvi Sukaesih, Dewi Persik, Anisa Bahar, Nita Talia, Inul Daratista, Rhoma Irama, Thomas Djorghi – merupakan pola-pola dari perilaku dalam membawakan lagu dangdut. Tetapi ketika kasus ‘goyang ngebor’ yang dibawakan Inul dianggap ‘tidak sopan’, dan menjadi dilarang, banyak orang mulai mengemukakan pendapatnya tentang goyang dangdut yang ‘lebih sopan’. Pendapat orang-orang tentang ‘goyang dan kostum panggung yang sopan’ – pakaian tidak terbuaka pada bagian perut, menutup dada, tidak menggoyangkan pinggul ke depan dan ke belakang – tersebut merupakan pola-pola bagi perilaku dalam membawakan lagu dangdut – apa yang diharapkan secara budaya dari perilaku penyanyi dangdut ketika membawakan lagunya di panggung.

Meskipun kebudayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang dibagi (di antara orang-orang dalam sebuah kelompok masyarakat), kita tidak bisa menyatakan bahwa setiap orang dalam di dalam kelompok sosial atau budaya mempercayai hal yang sama, atau berperilaku dengan cara yang sama. Di dalam setiap kelompok dan segala ranah kebudayaan yang bisa kita bayangkan, variasi substansial akan muncul. Sebagai contoh, sikap, kepercayaan dan perilaku masyarakat akan bervariasi tergagantung pada etnis, identitas rasial, gender, identitas gender, status dan kelas sosial, tingkat pendidikan, umur, tempat tinggal, dan faktor lain yang relevan di dalam permasalahan sosial dan politik kehidupan. Peristiwa-peristiwa bersejarah yang unik, lingkungan, ruang, dan tempat juga bisa mempengaruhi variasi perilaku atau kepercayaan individual sebagai bagian dari sebuah kelompok. Variasi tersebut menjadi pertimbangan kritis di dalam penelitian etnografi dalam kerangkan menghindari stereotip , dan jaminan untuk mendengarkan semua pendapat di dalam setting – tidak hanya mendengarkan suara dari satu orang saja.
Bicara etnografi tidak bisa dilepaskan dari permasalahan definisi kebudayaan, di mana dari proses berbagi (share) di dalamnya terbentuk suatu kelompok orang-orang, lembaga atau masyarakat. Penelitian etnografi tidak bisa dilepaskan dari permasalahan kebudayaan masyarakat di dalam setting tertentu. Etnografi itu sendiri juga menjadi sebuah cara untuk memperbicangkan teori-teori kebudayaan melalui fenomena yang diteliti di lapangan. Etnografi membangun teori kebudayaan – atau penjelasan tentang bagaimana orang berpikir, percaya, dan berperilaku – yang disituasikan dalam ruang dan waktu setempat.

Penelitian di lingkungan alamiah (natural setting)
Penelitian etnografi dilakukan di lingkungan alamiah (natural setting) tempat di mana ‘yang diteliti’ (baca: masyarakat, lembaga atau kelompok manusia) hidup – bukan penelitian yang dilakukan di laboratorium atau lingkungan buatan lainnya. Dalam penelitian etnografi peneliti datang ke tempat di mana masyarakat atau kelompok tinggal untuk ‘mengalami bersama’ apa yang mereka lakukan sehari-hari. Dari pengalaman bersama dengan ‘yang diteliti’ ini diharapkan peneliti bisa memahami bagaimana kehidupan sosial dan budaya dari sudut pandang mereka. Rumah, sawah, rumah sakit, pasar, mal, ruang kelas, ruang tunggu, dan MCK umum hanyalah sebagian kecil setting alamiah, tempat di mana orang-orang bisa berinteraksi satu dengan yang lainnya – dan tentunya peneliti harus mengunjunginya untuk bisa melihat ‘yang diteliti’ dalam setting alamiahnya.

Contoh kasus: Mengapa seorang ibu lebih memilih untuk mencuci di sungai daripada di MCK umum yang dibangun pemerintah? Pertanyaan tersebut bisa dijawab secara etnografis bila peneliti mengalami bersama ibu-ibu – sebagai ‘yang diteliti’ – mencuci di sungai. Alasan mereka untuk lebih memilih sungai daripada MCK umum lebih mudah dipahami dari pengalaman mencuci bersama mereka. Mengapa umat tidak lagi pergi ke gereja? Pertanyaan tersebut juga bisa dipahami bila peneliti tinggal bersama mereka di lingkungan alamiahnya. Air yang mengalir lebih deras, sabun cuci jadi lebih mudah dibilas hanya sebagian jawaban yang bisa diperoleh dari pengalaman mencuci bersama. Demikian pula dengan jarak gereja yang jauh dari rumah, hawa panas di dalam gereja juga menjadi sebagian jawaban dari pengalaman pergi ke gereja bersama umat. Tetapi ada hal lain yang tak kalah penting daripada mengalami interaksi ‘yang lain’ dengan lingkungan fisiknya – seperti kualitas air, jarak, dan hawa panas. Namun interaksi ‘yang lain’ dengan lingkungan sosialnya menjadi tak kalah penting untuk dipahami dalam setting natural. Bisa bergosip dengan tetangga, kemudahan memperoleh informasi desa, hingga ‘gengsi’ menjadi sebagian informasi yang bisa diperoleh dari pengalaman mencuci bersama ibu-ibu. Demikian pula halnya dengan konflik antarumat, bosan dengan khotbah pastor, tidak lagi bisa menjawab pertanyaan tentang ‘hidup’ mungkin menjadi jawaban yang diperoleh dari informan dengan tinggal bersama umat.

Peneliti tidak bisa mengubah setting alamiah dalam penelitian etnografi – misalnya dengan membuat sawah baru, model ruang tunggu dengan alasan ‘kemudahan’ penelitian. Namun dalam beberapa metode pengumpulan data di dalam etnografi peneliti bisa ‘mengontrol’ setting – misal: dengan mengundang beberapa anggota masyarakat ke balai desa setempat untuk melakukan focus group interview dan focus group discussion.
Interaksi manusia dengan lingkungan alam dan sosialnya menjadi hal yang penting karena di dalamnya juga bisa terlihat bagaimana manusia berbagi – pengetahuan, nilai-nilai, perilaku – yang kemudian disebut sebagai bentuk kebudayaan. Hal tersebut menjadi pertimbangan mengapa peneliti tidak bisa mengubah setting. Metode focus group interview juga tidak menjadi satu-satunya cara yang dipilih untuk mengumpulkan data dalam etnografi. Sebagai sebuah penelitian yang menggunakan sejumlah teknik pengumpulan data, hasil yang didapat dari focus group interviews akan di cek ulang dengan informasi yang didapat dari teknik lainnya –melalui observasi dan wawancara mendalam yang dilakukan di dalam setting alamiah.

Peneliti sebagai alat pengumpul data
Etnografi menggunakan peneliti sebagai alat pengumpul data – melalui indera penglihatan, pendengaran, dan perasa. Melalui kegiatan wawancara dan observasi peneliti mengumpulkan data untuk kemudian merumuskan permasalahan, dan mencari pemecahannya. Keberadaan peneliti sebagai alat pengumpul data ini juga menimbulkan perdebatan panjang berkenaan dengan validitas dan reliabilitas ketika etnografi dibandingkan dengan metode penelitian lainnya – terutama yang tidak menggunakan peneliti sebagai alat pengumpul data. “Ilmu pengetahuan yang obyektif” menjadi sesuatu yang memberatkan, ketika keberadaan peneliti, dan interaksinya dengan ‘yang diteliti’ di lapangan memungkinkan terjadinya ‘bias ’ dalam data yang dihasilkan.
Sebagian peneliti percaya bahwa metode yang digunakannya dalam penelitian etnografi bisa dan harus netral dan bebas nilai, meskipun mereka menyadari bahwa nilai-nilai peneliti (yang dibawa di dalam kepalanya) memainkan peranan penting dalam penyeleksian pertanyaan penelitian. Para peneliti juga menyadari bahwa nilai dan kepentingan mempengaruhi bagaimana hasil penelitian akan digunakan. Mereka yang berpendapat demikian juga sepakat untuk menggunakan beberapa metode dan teknik pengumpulan data sekaligus untuk mengatasi permasalahan obyektivitas ini.
Pada banyak kasus, peneliti diharuskan tinggal bersama dengan ‘yang diteliti’ di dalam setting alamiah mereka. Ketika itu pula dibangun suatu hubungan mutualisme di mana peneliti juga harus membantu ‘yang diteliti’ untuk menyelesaikan permasalahan mereka, yang mungkin menjadi permasalahan penelitiannya. Kedekatan yang dibangun selama berada di lapangan dalam rangka mendapatkan jawaban yang lebih mendalam, bisa jadi akan berpengaruh di dalamnya – terutama bila peneliti harus bekerja sama dengan orang-orang di dalam setting yang berbeda pendapat, atau saling berlawanan. Kedekatan akan berpengaruh pada peneliti – dalam intepretasi data ketika menuliskan dan menggambarkan ‘yang lain’, juga ketika cara penyelesaian masalah ditentukan dalam kerangka membantu ‘yang lain’.
Serangkaian teknik pengumpulan data digunakan – seperti observasi, wawancara, survey dan sampel populasi, focus group interviews, metode audiovisual, pemetaan, penelitian jaringan. Dalam satu penelitian etnografi bisa digunakan beberapa metode pengumpulan data sekaligus dengan tujuan saling melengkapi – menghilangkan ‘bias’ menjadi salah satu alasan di dalamnya.
Penggunaan data kuantitatif dan kualitatif sekaligus merupakan hal yang biasa dilakukan dalam etnografi. LeCompte & Schensul (1999) menyebut peneliti etnografi sebagai ‘pengumpul segala data’ – mereka menggunakan segala bentuk data yang mungkin saja bisa memperjelas jawaban yang menjadi pertanyaan penelitian. Secara umum peneliti menyelenggarakan penelitian awal secara kualitatif terlebih dulu untuk mengetahui apa yang terjadi di suatu tempat tertentu. Baru kemudian mereka menentukan variabel kunci dan ranah yang akan diteliti secara kuantitatif. Pengukuran kuantitatif digunakan untuk memverifikasi penemuan kualitatif.

Observasi dan wawancara dalam etnografi
Observasi dan wawancara adalah cara pengumpulan data yang umum dilakukan dalam penelitian etnografi. Keduanya dilakukan bersamaan di dalam setting alamiah ‘yang diteliti’, dan saling melengkapi untuk mendapatkan gambaran tentang ‘yang lain’. Observasi dan wawancara menggunakan peneliti sebagai alat pengumpul data – melalui indera (penglihatan, pendengaran, dan perasa), dan kemampuan untuk berkomunikasi.
Observasi dan wawancara dalam etnografi tidak bisa dilepaskan dari partisipasi, yang berarti peneliti hampir sepenuhnya ‘menenggelamkan diri’ di dalam kehidupan bersama masyarakat yang diteliti. Kegiatan ini kemudian dikenal sebagai pengamatan partisipatif (participant observation). Dalam pengertian tradisionalnya pengamatan partisipatif berarti juga pengamalan ‘menenggelamkan diri’ – di mana peneliti belajar hidup di dalam masyarakat sebagai anggota dan penduduk tetap. Disebut sebagai ‘pengalaman belajar (untuk) hidup’ karena biasanya peneliti tidak punya pengetahuan tentang kebudayaan masyarakat di mana ia akan tinggal, dan kemudian mempelajarinya melalui keterlibatannya sebagai anggota di dalamnya. Dalam pengertian modern, pengamatan partisipatif tidak mengharuskan peneliti untuk terlibat secara penuh, menjadi anggota masyarakat ‘yang diteliti’ atau penduduk tetap. Partisipasi di sini bisa diartikan sebagai sebuah rangkaian waktu – keberlanjutan.
Observasi merujuk pada segala sesuatu yang dapat teramati melalui indera penglihatan peneliti etnografi. Observasi selalu mengalami ‘penyaringan’, melalui kerangka interpretasi peneliti. Observasi yang paling akurat adalah yang dibentuk melalui kerangka teoritis dan perhatian yang teliti terhadap detail. Pengaruh lain dalam observasi adalah bias personal dan nilai, dan teori yang tidak teratikulasikan, yang justru tidak membantu. Peneliti etnografi harus memahami dengan seksama permasalahan peneltian dan kerangka teoritis yang membentuknya, sama baiknya dengan bias-bias yang mungkin akan muncul di dalamnya – sebagai upaya untuk meminimalkan bias. Kualitas hasil pengamatan tergantung pada kemampuan peneliti untuk mengamati, mendokumentasikan dan menginterpretasikan apa yang bisa teramati.
Apa yang diamati oleh peneliti etnografi akan berbeda selama berada di lapangan. Peneliti menghabiskan hari (minggu atau bulan) pertamanya di lapangan untuk melakukan orientasi – melakukan pengenalan terhadap situasi dan kondisi setting. Keingingtahuan dan kebutuhan untuk mempelajari bagaimana harus berperan menghadapi situasi baru menjadi faktor pendorong observasi yang baik. Makin lama, pengamatan akan jadi semakin selektif.

Contoh kasus : Dalam perjalanan menuju Desa Kelian Dalam, rakit-rakit tambang yang berjajar di sepanjang tepi sungai Kelian menjadi pemandangan pertama. Saat itu tak satu pun peneliti yang mengetahui bagaimana sistem penambangan rakit tersebut bekerja, yang ada di kepala peneliti adalah sejumlah permasalahan dan pertanyaan penelitian. Setelah sampai di lokasi, hal pertama yang dilakukan adalah menemui kepala desa untuk minta ijin dan menanyakan di mana peneliti boleh tinggal. Gedung PKK yang jarang dipakai menjadi tempat yang diberikan oleh kepala desa untuk tempat tinggal. Setelah itu peneliti melihat situasi sekitar tempat tinggal – di mana letak MCK umum, warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari, dan ‘ngobrol’ dengan tetangga terdekat. Berkenalan dengan para ketua RT dan orientasi seluruh wilayah desa, termasuk pemetaan awal lokasi, dilakukan pada hari kedua. Saat itu kehidupan desa mulai sedikit tergambarkan dari informasi pemilik warung, dan tetangga terdekat. Sistem kerja rakit tambang yang ditemui pada saat memasuki lokasi desa baru sedikit tergambarkan setelah minggu pertama. Saat itu hampir seluruh rakit penambangan menjadi setting observasi setiap hari. Pemetaan rakit (penduduk setempat menyebutnya ‘unit tambang’) penambangan di sepanjang Sungai Kelian pun dibuat – letak, sistem kerja, dan pemiliknya.

Selain kondisi lingkungan, peristiwa juga merupakan hal yang menjadi sasaran pengamatan peneliti etnografi. Peristiwa didefinisikan sebagai kegiatan yang berurutan yang terbatas pada ruang dan waktu. Peristiwa adalah kegiatan yang lebih luas, lebih lama, dan melibatkan lebih banyak orang di dalamnya dibandingkan dengan kegiatan tunggal. Seren Taun, acara 17 Agustus-an, gotong royong bersih desa adalah beberapa contoh peristiwa yang biasa diselenggarakan di wilayah Paroki Cigugur. Mencangkul tanah, menyiangi rumput, memperbaiki saluran air adalah contoh kegiatan tunggal yang biasa dilakukan petani di sawah.
Peristiwa biasanya diselenggarakan di suatu tempat spesifik, dan mempunyai arti dan tujuan khusu yang disepakati bersama oleh kebanyakan orang, meskipun penafsiran individu atas arti peristiwa tersebut berbeda-beda – tergantung perbedaan di antara para informan. Peristiwa biasanya melibatkan lebih dari satu orang, punya kesejarahan dan kepentingan, dan berulang dalam periode waktu tertentu. Pertanyaan tentang siapa, apa yang terjadi, di mana, kapan, mengapa dan untuk siapa merupakan hal umum yang ditanyakan untuk memperoleh gambaran tentang peristiwa.
Penghitungan, pengambilan sensus, dan pemetaan merupakan hal lain yang penting dilakukan oleh peneliti etnografi dalam observasi – untuk memperoleh gambaran yang lebih akurat tentang keberadaan orang-orang, tempat, dan hal-hal lain di dalam lingkungan sosial. Hal tersebut sangat membantu ketika kemampuan berbahasa lokal dan akses terhadap lingkungan sangat terbatas. Data tersebut bisa dikumpulkan dari berbagai tempat dan jangka waktu tertentu untuk memperlihatkan perbedaan dariwaktu ke waktu.

Contoh kasus : Pada kasus penambangan tradisional di Kelian Dalam. Pemetaan unit-unit tambang di sepanjang Sungai Kelian juga mencakup pemilik masing-masing unit rakit, jumlah pekerja di setiap unit, dan sensus pekerja tambang (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan sudah berapa bekerja di unit tersebut). Pemetaan masing-masing lingkungan RT juga dibuat untuk menggambarkan kondisi desa – termasuk di dalamnya letak dan penghitungan jumlah rumah, fasilitas desa, fasilitas umum, warung dan tempat hiburan serta rumah pengumpul, penyepuh, dan pembuat perhiasan emas. Sensus jumlah anggota keluarga di tiap rumah juga dilakukan, termasuk berapa orang yang mengunjungi tempat hiburan rata-rata per hari – termasuk di dalamnya penggolongan umur dan jenis kelamin.

Merupakan tantangan bagi peneliti untuk mentransformasikan hasil observasi ke dalam bentuk tulisan catatan lapangan, yang nantinya menyatakan sebuah rekaman ilmiah dari pengalaman sebagai referensi di masa yang akan datang. Semakin lengkap dan akuratnya catatan lapangan, semakin mempermudah peneliti (lain) untuk menggunakannya sebagai data. Seorang peneliti harus menyadari bahwa catatan lapangannya dibuat bukanuntuk dirinya sendiri melainkan juga untuk orang lain – bahkan bila catatan tersebt dibuat dengan sangat detail akan terlihat pola-pola yang terjadi di dalamnya, yang tidak teramati dengan hanya menuliskan satu bagian cerita saja.
Saat ini detail penulisan telah banyak dibantu oleh teknologi film dan fotografi – yang dikenal dengan sebutan film etnografi, dan fotografi etnografi. Film dan fotografi etnografi harus bisa menggambarkan kebudayaan yang direkam – menjadi representasi kebudayaan orang-orang di dalam setting. Namun narasi tetap diperlukan di dalamnya untuk lebih memberikan gambaran yang jelas tentang peristiwa budaya yang direkam.

Wawancara dalam etnografi digunakan untuk menggali lebih dalam informasi dari topik yang telah ditentukan, mengetahui riwayat hidup, memahami pengetahuan dan kepercayaan, dan penjelasan tentang tindakan. Secara teknis terdapat dua macam wawancara yang umumnya digunakan dalam etnografi, yaitu: 1) wawancara mendalam (in-depth interview), dan 2) wawancara terbuka (open-ended interview). Wawancara mendalam merujuk pada eksplorasi segala dan semua aspek sebuah topik secara detail. Sementara wawancara terbuka membiarkan respon terbuka pada penilaian yang diwawancara dan tidak terikat pada pilihan yang disediakan oleh pewawancara atau membatasi pada sepotong jawaban. Tidak ada jawaban yang benar , dan yang diwawancara tidak dihadapkan pada serangkaian alternatif pilihan. Eksplorasi merujuk pada tujuan wawancara – untuk mengeksplorasi bidang-bidang yang diyakini penting untuk dipelajari dan baru sedikit diketahui. Bentuk pertanyaan terbuka dan eksploratif ini memungkinkan peneliti untuk menggunakan fleksibilitasnya secara maksimal di dalam mengeksplorasi topik secara mendalam, dan membuka topik baru yang muncul di dalamnya.
Tujuan utama wawancara terbuka adalah mengeksplorasi bidang yang belum dijelaskan dalam model jaringan konsep; mengidentifikasi bidang baru; merinci bidang-bidang ke dalam bagian faktor-faktor, dan sub-faktor; mendapatkan informasi terarah tentang konteks dan sejarah tentang permasalahan yang diteliti dan lokasi penelitian; membangun pemahaman dan hubungan positif antara pewawancara dan orang yang diwawancara. Sebuah wawancara eksploratif membutuhkan ingatan yang selalu waspada, pemikiran logis, dan kemampuan komunikasi yang bagus.
Wawancara eksploratif bertujuan untuk memperluas pengetahuan peneliti tentang permasalahan yang hanya sedikit diketahuinya. Orang-orang yang diidentifikasi oleh peneliti dan anggota masyarakat sebagai ‘mempunyai pengetahuan yang baik’ tentang topik yang akan dieksplorasi dipilih sebagai informan kunci atau ahli budaya, untuk kemudian diwawancara. Perlu dilakukan seleksi untuk memilih informan kunci yang terbaik – yang punya pengetahuan terbanyak tentang topik yang ditanyakan.
Representasi bukan menjadi tujuan utama wawancara mendalam – namun penguasaan atas topik yang ditanyakan menjadi lebih penting di dalamnya. Meskipun demikian beberapa faktor utama tetap harus dipertimbangkan dalam pemilihan informan kunci – seperti etnisitas, kelas sosial, dan umur – yang mungkin mempengaruhi batas pada perpsektif mereka. Sebagai contoh: pengaruh televisi pada budaya lokal akan dipersepsikan berbeda antara informan yang berusia di atas 50 tahun, dengan remaja berusia belasan tahun. Faktor etnisitas menjadi penting karena mereka yang disebut sebagai ‘penduduk asli’ akan mempunyai perspektif berbeda tentang kebudayaan lokal dibandingkan dengan ‘pendatang’.

Wawancara dan observasi yang eksploratif dituntun oleh rencana penelitian (research design), dan terutama oleh pertanyaan penelitian dan beberapa pertanyaan umum ang dimiliki oleh peneliti tentang topik spesifik yang akan dieksplorasi. Proses wawancara dan observasi lebih lanjut dituntun oleh hipotesis awal atau dugaan-dugaan tentang pola-pola budaya, hubungan-hubungan sosial, dan mengapa beberapa hal terjadi demikian. Dengan demikian, meskipun terbuat di dalam kedua bentuk kegiatan pengumpulan data, peneliti juga terlibat di dalam formulasi teoritis tingkat rendah yang akan diuji secara terus menerus terhadap model teoritis yang telah terbentuk dan data baru yang muncul dari lapangan. Observasi dan wawancara adalah dua aktivitas kritis yang memungkinkan peneliti untuk memperkaya bentuk teori etnografis dengan menanyakan pertanyaan interpretatif, dan mengamati perilaku yang menjadi kebiasaan dan tidak disadari, untuk kemudian dengan sukarela diterangkan oleh pelakunya ke dalam bentuk kata-kata.
Di dalam observasi, kita mencoba untuk menangkap aspek penting dari apa yang kita lihat dalam detai yang konkrit. Dalam wawancara, kita memakai tahap yang sama tetapi dengan tambahan keunggulan dengan bisa menangkapnya melalui kata-kata ‘yang diteliti’ tentang apa yang mereka lihat, percaya dan melaporkannya untuk sebuah topik yang spesifik. Dengan kata lain wawancara bisa menjelaskan hasil pengamatan melalui kata-kata pelakunya sendiri.
Wawancara dan observasi merupakan tantangan bagi peneliti karena sifatnya yang ‘tidak terduga’. Tetapi justru ‘ketakterdugaan’ ini yang membuat keduanya jadi alat yang menarik untuk eksplorasi pada awal hingga akhir penelitian – ketika hasil awal muncul dan dibutuhkan verifikasi di dalam masyarakat ‘yang diteliti’.

Etnografi terapan
Sebagai sebuah pendekatan untuk mempelajari kehidupan masyarakat, hasil penelitian etnografi seakan dihadapkan pada dua pilihan kegunaan yaitu: 1) untuk berteori tentang kebudayaan – berkenaan dengan fenomena masyarakat yang diteliti; dan 2) memecahkan permasalahan di dalam masyarakat yang diteliti. Untuk kegunaan yang ke-dua dikenal istilah etnografi terapan. Etnografi terapan adalah penelitian etnografi yang lebih bertujuan pada identifikasi dan pemecahan masalah (problem solving) yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok – dengan tetap memakai ‘lensa’ masyarakat yang ‘diteliti’.
LeCompte & Schensul (1999) mengatakan bahwa penelitian etnografi terapan selalu berpusat pada 2 tujuan, yaitu: 1) memahami permasalahan sosiokultural di dalam masyararakat atau lembaga; dan 2) menggunakan penelitian untuk memecahkan permasalahan atau membantu menemukan perubahan positif di dalam lembaga atau masyarakat. Penelitian etnografi terapan berkenaan dengan pemahaman permasalahan sosial dan menggunakan pemahaman tersebut kepada sebuah perubahan positif di dalam masyarakat, lembaga atau kelompok. Etnografi terapan seringkali digunakan dalam studi kebijakan – karena dianggap bisa menyediakan perspektif lain dari masyarakat ‘yang dikenai kebijakan’, dan bukan hanya sekedar evaluasi atas implementasi kebijakan.
Hampir sama dengan penelitian etnografi terapan, etnografi sebagai sebuah ilmu lebih berfokus pada penciptaan teori-teori budaya – bagaimana teori budaya diperdebatkan melalui studi etnografi. Etnografi sebagai sebuah ilmu menghasilkan atau membangun teori-teori tentang budaya – atau penjelasan-penjelasan bagaimana masyarakat berfikir, percaya dan berperilaku – yang disituasikan dalam ruang dan waktu setempat. Meskipun demikian teori-teori kebudayaan yang dihasilkan dalam satu penelitian etnografi bisa menjadi hipotesis, pola-pola yang teramati, atau interpretasi yang akan dibangun dan ditelusuri dalam setting yang serupa dalam penelitian etnografis lainnya – dan tidak tertutup kemungkinan untuk kemudian digunakan dalam penelitian etnogafi terapan.
Sebagai sebuah bentuk pemecahan masalah, tentu akan lebih baik bila hasil yang didapat dari studi etnografi ini berguna bagi masyarakat – di mana permasalahan tersebut berawal. Permasalahan bisa diidentifikasikan oleh peneliti, dan tokoh masyarakat di dalam sebuah setting di mana studi etnografi akan dilakukan. Penelitian etnografi terapan akan menghasilkan sesuatu yang berguna bagi anggota-anggota masyarakat atau lembaga di dalam setting di mana permasalahan dipecahkan.

Contoh kasus: Pada masyarakat Sumba, penyakit TB Paru diidentifikasi sebagai sebuah penyakit menular yang memerlukan penanganan segera. Pihak Dinas Kesehatan setempat mengidentifikasi TB Paru sebagai penyakit dengan jumlah penderita yang cukup tinggi, menular, dan sukar untuk disembuhkan. Bersama dengan pihak Dinas Kesehatan dan masyarakat, peneliti mengidentifikasikan bersama permasalahan tersebut. Kebudayaan masyarakat Sumba menjadi menjadi unsur terpenting dalam penelitian ini – melihat TB Paru dari sudut pandang masyarakat Sumba. Keluarga luas yang tingal bersama dalam satu rumah adat berpengaruh pada proses penularan, pengobatan, serta tingkat kesembuhan penderita TB Paru. Peneliti menemukan bahwa bila dalam satu rumah seluruhnya terkena TB Paru, hanya satu orang yang pergi ke puskesmas. Obat yang seharusnya diminum selama 6 bulan, hanya diminum selama kurang dari satu bulan – karena obat dibagi untuk seluruh anggota keluarga yang tinggal bersama dalam satu rumah.
Sebagai sebuah permasalahan kesehatan pihak Dinas Kesehatan juga menjadi bagian di dalamnya – yang memberikan sudut pandang medis untuk penyembuhan TB Paru. Sudut pandang masyarakat Sumba terhadap penyakit TB Paru menjadi hal pertama yang harus diidentifikasikan oleh peneliti, yang kemudian menjadi penuntun untuk menemukan cara-cara pengobatan medis yang lebih sesuai untuk mereka. Selama ini penduduk setempat masih percaya pada jasa dukun penyakit (rato kaporé) untuk menyembuhkan segala jenis sakit. Sebagai salah satu solusinya hasil penelitian etnografi ini memberikan saran kepada pihak dinas kesehatan setempat untuk juga melibatkan peran dukun penyakit untuk keberhasilan program penyembuhan TB Paru.

Contoh tersebut di atas menggambarkan bagaimana sebuah penelitian etnografi bisa dipakai untuk memperbaiki kebijakan di bidang kesehatan yang selama ini dijalankan oleh pihak Departemen Kesehatan Pemda NTT. Penelitian etnografi dilakukan untuk mengetahui cara pengobatan yang sesuai dengan konteks kebudayaan masyarakat setempat – dan tentu saja apa yang bisa dilakukan oleh pihak dinas kesehatan dan pemerintah daerah setempat dalam penanganan masalah kesehatan masyarakat.
Dalam pekerjaan etnografi terapan, peneliti bukan hanya berperan sebagai penerjemah kata-kata dan perbuatan ‘yang diteliti’ tetapi juga menjadi salah satu pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam penggunaan penelitian untuk memecahkan masalah. Parapihak yang berkepentingan (stakeholders) adalah orang-orang yang punya kepentingan dalam usaha untuk meyakinkan bahwa hasil-hasil yang didapat dari penelitian digunakan untuk memecahkan masalah – yang menjadi tujuan penelitian. Parapihak tersebut menjadi jurubicara dan penerjemah bersama dengan peneliti etnografi, dan bekerjasama dengan peneliti etnografi untuk mengkonstruksikan konteks sosial dan politik sebuah permasalahan, membaca dan menginterpretasikan data etnografi bersama, dan menentukan cara-cara terbaik dan efektif penggunaan hasil penelitian untuk kepentingan masyarakat.

Gereja dan penelitian etnografi
Gereja tidak bisa dilepaskan dari umatnya. Gereja juga harus hidup di tengah-tengah umatnya. Hal yang sama juga berlaku antara umat dan masyarakat di mana mereka menjadi bagian di dalamnya. Gereja juga menjadi bagian dari lingkungan masyarakat, tempat di mana ia dibangun. Dengan melihat kondisi tersebut, tidak mungkin melihat gereja menjadi terpisah dari masyarakatnya. Telah banyak kita dengar gereja melalui program-program kerjanya membantu masyarakat setempat – yang bukan umat (misal: mengadakan program pengobatan bagi masyarakat sekitarnya, membantu korban bencana alam). Ada juga kita mendengar peristiwa pembakaran dan penutupan gereja. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan gereja tidak bisa dilepaskan dari konteks masyarakatnya.
Umat gereja adalah bagian dari masyarakatnya. Selain menjadi umat, mereka juga adalah anggota masyarakat yang hidup dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Mereka juga memiliki identitas sebagai anggota masyarakat – sebagai warga desa setempat. Identitas umat menjadi ada ketika mereka berhubungan dengan gereja – melalui identitas agama, dan keterlibatannya pada gereja. Namun di luar itu mereka juga adalah warga masyarakat – sebagai tetangga, warga RT, ada juga yang menjadi tokoh masyarakat, dan masih banyak pilihan identitas sosial lainnya.
Seseorang bisa memiliki lebih dari satu identitas atau multiple identity yang terjadi karena adanya tempat aktivitas yang berbeda. Identitas seseorang atau sekelompok orang dihasilkan secara simultan dalam banyak tempat aktivitas yang berbeda, oleh unsur-unsur yang berbeda, untuk beberapa tujuan yang berbeda pula. Identitas seseorang dalam kaitannya dengan tempat dimana ia hidup – diantara tetangga, teman-teman dan keluarga – hanyalah satu konteks sosial dan mungkin bukanlah suatu hal yang penting dalam pembentukan identitas. Adanya beberapa unsur yang beragam dalam proses penyebaran identitas, berubah-ubah, representasi yang berhubungan dalam tempat yang berbeda dari pembentukan karakter yang berbeda, itulah yang harus dipahami sebagai fakta sosial (Marcus,1994:46).
Dalam kerangka pengaturan umat, gereja juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan – yang dilihat sebagai bentuk-bentuk pengaturan umat. Melalui kegiatan misa, program kerja (DPP dan seksi-seksi), tema-tema Natal dan Paskah, dan kepemimpinan pastor, gereja mengatur umatnya. Melalui program-program kerja tersebut gereja mengajak umat untuk berbuat dan melakukan sesuatu. Kebijakan bukan suatu bentuk paksaan. Masih ada ‘pilihan’ bagi ‘yang dikenai kebijakan’ untuk menyatakan sikapnya atas pengaturan yang tertuang dalam kebijakan. Sebagai salah satu bentuk penelitian yang digunakan dalam studi kebijakan etnografi menyediakan perspektif lain dari umat sebagai pihak ‘yang dikenai kebijakan’ – bagaimana umat melihat kebijakan tersebut, dan tentunya bagaimana kebijakan tersebut bekerja di dalam umat.
Etnografi juga merupakan cara untuk memahami umat – bagaimana umat hidup sebagai bagian dari masyarakatnya, bukan hanya sebagai ‘pengunjung gereja’. Permasalahan apa yang harus dihadapi ketika mereka memilih untuk menjadi ‘pengikut gereja’. Apa yang mereka lakukan di tengah kehidupan bermasyarakat; apa yang mereka hadapi di dalam masyarakat – sebagai Katolik di tengah umat beragama lain sebagai bagian dari kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
Etnografi membantu pembuat kebijakan gereja untuk melihat ‘siapa umatnya’ – sebagai pihak yang akan ‘dikenai kebijakan’. Penelitian etnografi membantu untuk melihat, dan menemukan gambaran tentang kondisi umat melalui sejumlah metode pengumpulan data yang bisa dipertanggungjawabkan. Diharapkan dengan demikian diharapkan gereja bisa membuat kebijakan yang lebih sesuai dengan konteks umat dan masyarakat sekitarnya – berdasarkan data yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan sekedar asumsi.


Daftar Pustaka
Bernard, H. Russel
1994 “Methods Belong to All of Us”, dalam Robert Borofsky (peny.) Assessing Cultural Anthropology, New York: McGraw-Hill,Inc hlm.168-179.
Chambers, Robert
1997 Whose Reality Counts?: Putting the first last, London: Intermediate Technology Publications.
Clair, Robert Patric (ed.)
2003 Expressions of Ethnography: Novel approaches to qualitative methods, Albany: State University of New York Press.
Denzin, Norman dan Yvonna S. Lincoln (ed.)
2000 Handbook of Qualitative Research, Second Edition, California: Sage Publication.
Ervin, Alexander M.
2000 Applied Anthropology: Tools and Perspectives for Contemporary Practice, Boston: Allyn & Bacon.
Grimshaw, Anna
2001 The Ethnographer’s Eye: Ways to Seeing in Modern Anthropology, Cambridge: Cambridge University Press.
Kuper, Adam
1999 Culture: The Anthropologists’ Account, Cambridge: Harvard University Press.
LeCompte, Margaret D. & Jean J. Schensul
1999 Designing and Conducting Ethnographic Research, Walnut Creek: Altamira Press.
Marcus, George E.
1994 “After the Critique of Ethnography: Faith, Hope, and Charity, But the Greatest of These Is Charity”, dalam Robert Borofsky (ed.) Assessing Cultural Anthropology, New York: McGraw-Hill, Inc. , hlm.40-54.
Martin, Emily
1997 “Managing Americans: Policy and changes in the meaning of work and self”, dalam Chris Shore & Susan Wright (eds.) Anthropology of Policy: critical perspectives on governance and power, London & New York: Routledge.
Schensul, Stephen L, Jean J. Schensul & Margaret D. LeCompte
1999 Essential Ethnographic Methods: Observations, Interviews and Questionairs, Walnut Creek: Altamira Press.
Shore, Chris
1997 “Governing Europe: European Union audiovisual policy and the politics of identity”, dalam Chris Shore & Susan Wright (eds.) Anthropology of Policy: critical perspectives on governance and power, London & New York: Routledge.
Vidich, Arthur J. dan Stanford M. Lyman
2000 “Qualitative Methods: Their History in Sosiology and Anthropology”, dalam (Denzin dan Lincoln, ed.), Handbook of Qualitative Research, Second Edition, California: Sage Publication, hlm. 37-65.


Peneliti Etnografi - Unio Frater Projo se-Indonesia

Tulisan tentang peneliti etnografi ini dibuat oleh mbak titi wening sebagai bahan acuan yang tidak bisa dipisahkan dalam acara temu akbar frater-frater diosesan se-Indonesia yang dilaksanakan bulan Agustus 2008 di paroki Kristus Raja-Cigugur. Terimakasih ya mbak. Sukses selalu sebagai antropolog. Fermentum sebagai penyelenggara sungguh berterimakasih atas materi yang hebat ini.

Etnografi menggunakan peneliti sebagai alat pengumpulan data – melalui indera (penglihatan, pendengaran, perasa) dan kemampuan untuk berkomunikasi. Dengan alasan tersebut pada bagian ini akan diuraikan beberapa hal yang menjadi perhatian bila seseorang akan melakukan penelitian atau ‘menjadi seorang peneliti’ etnografi.

Pertanyaan dan rencana penelitian
Penelitian selalu berawal dari sebuah pertanyaan penelitian. Tidak mungkin seorang melakukan suatu penelitian bila tidak ada pertanyaan di kepalanya. Penelitian dilakukan untuk menemukan jawaban atas suatu pertanyaan. Seorang peneliti etnografi harus bisa merumuskan suatu pertanyaan penelitian yang nantinya akan dicari jawabannya melalui penelitian. Merumuskan di sini berarti mengolah permasalahan menjadi sebuah pertanyaan yang ‘layak’ dan ‘bisa’ dicari jawabannya melalui penelitian – tentunya dengan segala keterbatasan ikut serta di dalamnya. Termasuk di dalam rumusan permasalahan adalah pertanyaan “untuk apa nantinya penelitian ini dilakukan?”.
Pertanyan penelitian etnografi selalu berhubungan dengan masyarakat, lembaga atau kelompok – berkenaan dengan interaksi manusia. Penelitian etnografi juga menggunakan lingkungan alamiah ‘yang diteliti’ sebagai tempatnya. Penelitian etnografi melibatkan serangkaian teknik pengumpulan data yang dipakai bersamaan untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan. Hal-hal tersebut hanya sebagian dari banyak permasalahan yang harus dipertimbangkan oleh peneliti ketika merumuskan sebuah pertanyaan penelitian.
Setelah sebuah pertanyaan berhasil dirumuskan, maka menjadi tugas peneliti etnografi pula untuk menyusun rencana penelitian. Termasuk di dalam penyusunan rencana ini adalah menentukan data apa yang akan dicari untuk bisa menjawab pertanyaan, dan bagaimana cara pengumpulan data akan dilakukan. Validitas dan reliabilitas menjadi hal terpenting yang harus dipertimbangkan dalam pengumpulan data. Selain itu keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya menjadi hal lain yang juga harus dipertimbangkan ketika seorang peneliti menyusun rencana penelitian.
Pertanyaan penelitian menjadi penuntun peneliti untuk mendapatkan informasi di lapangan, dengan teknik pengumpulan data sesuai rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketika ‘ngobrol’ dengan informan dilakukan, pertanyaan penelitian harus tetap diingat oleh peneliti – karena berhubungan dengan informasi yang harus didapatkan. Peneliti bisa bertanya tentang segala hal sejauh berhubungan dan signifikan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Misal: pertanyaan-pertanyaan tentang perilaku seks di kalangan remaja – menjadi signifikan untuk menjawab pertanyaan penelitian ‘bagaimana penyebaran HIV/ AIDS di kalangan pengguna narkoba’. Tetapi pertanyaan-pertanyaan tentang perilaku seks di kalangan remaja tersebut tidak signifikan untuk menjawab pertanyaan penelitian ‘matapencaharian apa yang sesuai untuk menggantikan pekerjaan penebang liar di Kalimantan Tengah’.
Dalam kegiatan UFO kali ini, peserta tidak akan mengalami proses rumit berkenaan dengan perumusan masalah dan penyusunan rencana penelitian. Peserta hanya diajak untuk mengalami bagaimana seorang peneliti melakukan observasi dan wawancara. Observasi dan wawancara merupakan metode yang paling sering dipakai untuk mengumpulkan data dalam penelitian etnografi. Pertimbangan tersebut menjadi alasan untuk memberikan gambaran bagaimana seorang peneliti etnografi ‘sebaiknya’ melakukan observasi dan wawancara.

Observasi
Semua hal yang teramati dan tertangkap oleh indera manusia bisa menjadi data yang menggambarkan ‘yang lain’ (others). Untuk itu dibutuhkan kepekaan dalam mengamati segala sesuatu hal di lapangan. Kepekaan di sini adalah kemampuan peneliti untuk ‘mengenal yang lain’ – segala hal yang mereka lakukan dalam berinteraksi, baik dengan sesamanya, juga lingkungannya. Bagaimana sebuah kelompok masyarakat di suatu daerah saling berinteraksi, dan kemudian saling berbagi pengetahuan, cara hidup, perilaku, nilai – dan banyak hal lainnya yang akhirnya disebut sebagai sebuah ‘kebudayaan’.
Termasuk yang diamati dalam kegiatan observasi ini adalah lingkungan tempat tinggal mereka – bagaimana lingkungan juga memberi pengaruh pada kebudayaan. Ketika petani menjadi sebuah kelompok masyarakat yang akan diteliti, maka kualitas, kontur (tinggi rendah tanah), dan berbagai hal yang berkaitan dengan tanah menjadi penting untuk diamati. Termasuk juga kualitas air, sumber air, curah hujan, dan segala sesuatu yang berpengaruh pada tingkat kesuburan merupakan hal penting lainnya. Hal yang sama juga terjadi pada jenis tanaman, pola tanam, teknik penanaman – yang tentunya juga dipengaruhi oleh kondisi tanah dan air. Kondisi lingkungan alam akan berakibat pada pola-pola adaptasi petani berkaitan dengan berbagai aspek pertanian – pemilihan jenis tanaman, berbagai teknik pengolahan tanah, penanaman, pemanenan hasil, hingga penjualan, dan pemanfaatan hasil. Di lingkungan alam yang jauh dari sumber air alamiah (sungai, danau), pola pertanian ladang berpindah dan tadah hujan mungkin menjadi pilihan terbaik. Namun sejumlah teknik lain bisa dilakukan untuk mengatasi kesulitan akan sumber air tersebut – pengadaan sumber air (bendungan, dan sistem irigasi); pemilihan jenis tanaman yang membutuhkan sedikit air; penggunaan pupuk atau bahan kimia lain yang bisa meningkatkan kusuburan tanah yang kering; dan pola tanam yang tidak membutuhkan banyak air. Ketika segala sesuatu yang dilakukan oleh petani dalam proses adaptasi dengan lingkungan tersebut menjadi pengetahuan yang dibagi (shared) maka ‘kebudayaan’ petani lahan kering terbentuk.
Interaksi antar sesama anggota masyarakat di suatu tempat juga merupakan hal yang penting untuk diamati. Interaksi antara guru dan murid dalam sebuah ruang kelas menjadi data penting untuk menggambarkan bagaimana sebuah proses belajar di dalam kelas berlangsung. interaksi antara penjual dan pembeli dalam sebuah pasar sayur merupakan data penting untuk menggambarkan bagaimana sebuah harga ditentukan dalam proses tawar menawar. Demikian pula halnya dengan interaksi antar-anggota keluarga di dalam rumah, antara umat dan pastor di dalam gereja.
Ketika seorang anak sedang berbicara dengan orangtuanya di dalam rumah, cara bicara dan isi pembicaraan menjadi data penting untuk melihat bagaimana nilai-nilai budaya dikontestasikan – bagaimana anak ‘melawan’ atau tidak setuju terhadap alasan dan pendapat orangtuanya; bagaimana orangtua ‘memaksakan’ nilai-nilai pada anaknya; atau sebuah kesepakatan terjadi diantara mereka. Pengamatan terhadap interaksi antar-anggota keluarga ini bisa dilakukan ketika mereka sedang berada dalam kesempatan yang sama – saat makan, melakukan pekerjaan rumahtangga, bekerja di kebun.

Pengamatan partisipatif
Dalam penelitian etnografi dikenal metode pengamatan partisipatif (participant observation) – sebuah pengamatan yang melibatkan peneliti di dalamnya. Dalam pengamatan partisipatif seorang peneliti diharuskan untuk hadir dan ikutserta dalam kegiatan yang tengah dilakukan oleh informan pada lingkungan alamiahnya (natural setting) – sering juga disebut dengan istilah ‘pengamatan terlibat’. Dengan melibatkan diri di tengah kegiatan tersebut peneliti juga bisa ikut mengalami bersama dengan informan. Dari pengalaman bersama ini diharapkan peneliti bisa mengenal informan dengan lebih baik – berkenaan dengan data untuk menggambarkan ‘other’.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di laboratorium, pengamatan partisipatif ini juga memberikan kesempatan peneliti untuk bisa mengalami lingkungan alamiah informan – proses adaptasi terhadap lingkungan menjadi sebuah pengalaman nyata yang juga dialami secara langsung oleh peneliti. Dengan ikut terlibat dalam kegiatan pertanian – ikut membuka lahan, mencangkul atau memanen hasil kebun – seorang peneliti bisa mendapatkan gambaran tentang ‘menjadi petani’ secara langsung. Pengamatan langsung dilakukan di dalam lingkungan alamiahnya (setting sawah atau ladang), bahkan juga mengalaminya secara langsung – bagaimana memilih cabai dan tomat yang sudah bisa dipetik, bagaimana memilih bibit padi yang baik, bagaimana mengatur air yang mengalir ke sawah agar sesuai dengan jenis padi yang ditanam.
Tinggal di rumah sebuah keluarga adalah sebuah bentuk pengamatan terlibat – untuk bisa menggambarkan bagaimana interaksi antara orangtua dan anak, bagaimana nilai-nilai dikontestasikan dalam sebuah keluarga, bagaimana tradisi ‘dipertahankan’ atau ‘berubah’ dalam sebuah keluarga. Kegiatan seluruh anggota keluarga akan teramati bila peneliti ikut tinggal bersama mereka dalam satu rumah. Keterlibatan peneliti dalam banyak kegiatan rumahtangga akan berpengaruh pada ‘kedalaman’ hasil pengamatan – apalagi keterlibatan tersebut berlangsung di lingkungan alamiah mereka.
Menurut Bernard (1994:171-4), setidaknya terdapat 5 (lima) permasalahan yang mempengaruhi jenis dan kualitas data sebagai seorang pengamat partisipatif, yaitu:
1. karakteristik pribadi /personal – termasuk di dalmnya kemapuan untuk bergaul, mengatur emosi, mengelola situasi yang nyaman.
2. kelancaran bahasa – termasuk kemampuan untuk menggunakan bahasa lokal, termasuk juga bahasa tubuh.
3. obyektivitas – yang berarti menjadi waspada terhadap ‘bias’ yang terdapat baik di pihak informan, mau pun peneliti.
4. keakuratan informan – sejauh mana informan memberikan data yang ‘benar’; ‘kejujuran’ dan ‘kebohongan’ informan menjadi permasalahan utama di dalamnya
5. representativitas informan – termasuk di dalamnya adalah alasan mengapa seseorang dipilih menjadi informan; apakah informan dianggap mewakili masyarakatnya.

Seorang peneliti etnografi harus membangun hubungan yang akrab dengan anggota masyarakat di dalam setting di mana penelitian dilakukan – dalam kegiatan UFO ini peserta terutama harus membangun hubungan yang akrab dengan seluruh anggota keluarga live-in. Keterlibatan yang akrab berarti membangun kepercayaan (trust) antara peneliti dengan ‘yang diteliti’, dan seringkali juga diperlukan sebuah hubungan pertemanan yang spesial. Dalam penelitian etnografi, membangun kepercayaan juga berarti ‘membangun hubungan’ (rapport). Proses membangun hubungan ini tergantung pada posisi peneliti – sebagai ‘orang dalam’ (insider) atau orang yang sudah dikenal, dan punya peran dan hubungan yang mapan dengan ‘yang diteliti’; atau ‘orang luar’ (outsider) yang tidak pernah dikenal sebelumnya; atau rekanan (partner) dalam hubungan kerjasama dengan ‘yang diteliti’. Kepercayaan tidak dibangun dalam waktu singkat – memerlukan waktu dan usaha. Diperlukan waktu dan usaha yang lebih besar ketika peneliti dipersepsikan ‘berbeda’ dengan masyarakat yang diteliti – seperti perbedaan gender, kelas sosial, kebudayaan, etnis, ras, behasa, agama, kasta atau peran. Misal: peneliti Katolik yang meneliti tentang kehidupan pesantren dengan cara tinggal di dalamnya selama beberapa waktu. Proses pembangunan dan mengelola hubungan ini berlangsung terus menerus – tidak akan berakhir sampai peneliti meninggalkan lapangan.
Meskipun partisipatif berarti ‘menenggelamkan diri’ hampir sepenuhnya di dalam kehidupan masyarakat yang diteliti, ada suatu keharusan bagi peneliti untuk ‘menarik diri’ sementara waktu untuk menuliskan catatan lapangannya – meskipun penarikan diri ini berarti hanya mengasingkan diri sementara di dalam kamar atau sebuah ruang privat saat menuliskan hasil pengamatannya. Dengan begitu peneliti bisa merekam pengalamanya dan mentransformasikannya ke dalam bentuk dokumen yang bisa dibaca dan diinterpretasikan oleh (peneliti) lainnya sebagai data ilmiah.

Wawancara
Jangan bayangkan wawancara seperti yang dilakukan oleh seorang wartawan, atau seperti yang sering terlihat dalam sebuah liputan berita di TV. Wawancara yang dilakukan oleh seorang peneliti etnografi berbeda dengan wartawan. Membayangkan sebuah perbincangan yang dilakukan untuk mengenal seseorang lebih dekat, atau ‘ngobrol’ di sebuah warung kopi dengan teman-teman mungkin lebih tepat bila ingin menggambarkan wawancara yang dilakukan oleh seorang peneliti etnografi.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya tentang membangun hubungan, ‘ngobrol’ dalam penelitian etnografi ini juga bisa dilihat sebagai sebuah proses membangun kepercayaan. Peneliti bukan satu-satunya pihak yang selalu bertanya, informan pun bisa melakukan hal yang sama. Kedua belah pihak saling membangun kepercayaan dengan ‘ngobrol’. Karenanya, penting bagi peneliti untuk menempatkan diri sebagai teman bagi informan – bukan sebagai musuh, atau polisi yang sedang menginterogasi.

Contoh kasus : Penelitian mengenai penebangan liar di Kalimantan Tengah. Pada minggu pertama di lapangan, informan masih selalu bertanya untuk apa peneliti melakukan penelitian di tempat tinggalnya. Informan pun selalu mengatakan bahwa saat ini masyarakat desa sudah tidak lagi melakukan penebangan liar. Sementara peneliti selalu meyakinkan bahwa penelitian ini dilakukan untuk mencari matapencaharian alternatif yang bisa menggantikan penebangan liar. Pada akhir minggu kedua di lapangan, peneliti diajak oleh informan untuk melihat jalur-jalur yang dipakai untuk mengangku kayu hasil tebangan liar. Pada minggu ketiga, informan mengajak peneliti untuk melihat lokasi penebangan liar dan menemui penduduk desa yang masih melakukan penebangan liar. Selama dua minggu peneliti berusaha meyakinkan informan bahwa penelitian dilakukan untuk mencari matapencaharian alternatif dengan melihat areal ladang, pemeliharaan ikan di keramba, lokasi perkebunan karet dan sawit masyarakat, dan usaha penambangan liar di sekitar desa. Tidak pernah sedikit pun peneliti memberikan pendapat buruk tentang penebangan liar – apalagi menuduh informan sebagai pencuri kayu. Selama penelitian peneliti tinggal di rumah informan, dan ikut serta dalam seluruh kegiatan rumahtangga temasuk memasak dan berbelanja.
Wawancara bisa dilakukan dalam berbagai situasi – formal, dan informal. Bagi seorang peneliti etnografi, bisa melakukan wawancara adalah suatu keharusan. Dan menjadi keharusan pula bagi seorang peneliti etnografi untuk bisa membuat informan untuk mau bercerita panjang lebar tentang segala hal yang ditanyakan. Wawancara di sini lebih diartikan sebagai kegiatan ‘berbincang-bincang’ atau ‘ngobrol’ dengan informan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya.
Dalam lingkungan alamiahnya (natural setting) informan adakalanya sedang bersama dengan orang lain – misal: sedang di rumah bersama anggota keluarga lainnya, sedang bekerja bersama menggarap tanah di ladang, atau bahkan ia mengundang teman dan kerabatnya untuk ‘ngobrol’ bersama dengan peneliti. Peneliti sebagai tamu di lingkungan informan tidak bisa mengatur situasi menjadi ‘ideal’. Kehadiran orang lain akan berpengaruh pada kualitas data – yang mungkin menjadi sebuah ‘kesepakatan’ bersama dengan teman dan kerabat yang hadir. ’Jaim’ (‘jaga image’) mungkin menjadi istilah yang tepat untuk menggambarkan sikap informan ketika wawancara dilakukan di antara teman dan kerabat lainnya. Kepekaan peneliti untuk menangkap situasi dan kemampuannya untuk mengatur strategi bertanya menjadi sangat diperlukan dalam keadaan demikian. Dalam penulisan laporan, kehadiran orang lain dan suasana ketika wawancara dilakukan juga menjadi data penting.

Wawancara mendalam
‘Wawancara mendalam’ (in-depth interview) adalah istilah yang sering dipakai pada metode pengumpulan data di mana seorang peneliti etnografi akan mengajukan bertanyaan yang memerlukan ‘kedalaman’ jawaban dari seorang informan. ‘Wawancara mendalam’ diharapkan bisa memberikan penjelasan ‘mengapa’ – yang akhirnya membuat peneliti mengetahui mengapa seseorang melakukan sesuatu. Sebuah penjelasan adalah jawaban dari sebuah pertanyaan ‘mengapa’ (Ember & Ember, 1990:203). ‘Wawancara mendalam’ hanyalah salah satu metode yang dipakai dalam etnografi untuk mendapatkan penjelasan mengapa seseorang melakukan sesuatu. Dalam ‘wawancara mendalam’, peneliti tidak akan puas dengan satu jawaban informan. Peneliti akan terus bertanya sampai ia merasa bahwa jawaban informan sudah memberikan penjelasan tentang sesuatu yang menjadi alasan mengapa ia melakukan sesuatu, atau menjelaskan alasan dibalik suatu pilihan dan keputusan yang diambilnya.
Kebanyakan ‘wawancara mendalam’ justru dilakukan dalam berbagai situasi informal. Ketika peneliti mewawancarai informan seorang guru di tempatnya mengajar, maka ia akan berhadapan dengan situasi formal. Bukan hanya karena lokasi di mana wawancara berlangsung adalah sebuah sekolah, namun peneliti dan informan ‘hanya’ bisa berbincang saja – mungkin dengan duduk berhadapan di ruang guru, atau ruang penerima tamu. Namun ketika peneliti bertemu dengan informan di rumahnya pada sore hari, suasana formal ruang sekolah tidak akan terasa lagi. Mungkin informan bisa ditemui dalam keadaan santai, tidak lagi mengenakan seragam guru, dan bisa berbicara lepas karen tidak takut pembicaraannya akan didengar oleh rekan kerja lainnya. Ketika informan ditemui dalam suasana informal, ia akan menjadi ‘dirinya sendiri’.
Kedekatan hubungan antara peneliti etnografi dan informan akan berpengaruh pada kegiatan wawancara mendalam. Ada jarak yang jelas di antara keduanya – bahwa seorang peneliti tidak akan pernah menjadi sekaligus seorang informan. Bernard (1994: 168-179) menjelaskan ‘penyamaan’ identitas keduanya hanya pada permasalahan pendekatan hubungan – bahwa seorang peneliti yang berstatus seorang ibu rumahtangga bisa jadi akan lebih mudah mendekati seorang informan yang juga seorang ibu rumahtangga. Namun peneliti tetap harus waspada terhadap ‘bias’ – karena permasalahan rumahtangga di antara keduanya pasti tidak sama. Kedekatan di dalam penelitian etnografi bukan berarti harus ‘melibatkan diri’ di dalam permasalahan informan – memahami permasalahan informan bukan berarti harus terlibat di dalamnya.

Contoh kasus : Dalam sebuah penelitian tentang penambangan ilegal masyarakat di Kelian Dalam, Kalimantan Timur, wawancara dengan ibu rumahtangga diperlukan untuk mengetahui situasi ekonomi keluarga pelaku penambangan. Pada hari pertama wawancara dilakukan di warung sebelah rumah informan yang ketika itu sedang berbelanja. Informasi yang didapatkan hanya berupa besarnya uang yang bisa dibelanjakan oleh rumahtangga informan hari itu. Namun setelah beberapa hari dilakukan pendekatan, dalam sebuah kesempatan memasak bersama informan, di dapat keterangan tentang pola pengelolaan keuangan rumahtangga sebuah keluarga pengusaha tambang ilegal – termasuk kebiasaan berhutang di warung yang baru akan dibayarkan setelah emas hasil penambangan dijual di Samarinda.

Bagi kebanyakan orang, kebiasaan berhutang – apalagi untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga – merupakan sebuah aib yang tidak boleh diceritakan kepada orang lain. ‘Gengsi’ dan harga diri menjadi alasan mengapa hutang tidak boleh diceritakan kepeda orang lain. Namun informasi tentang hutang sangat penting dalam penelitian ini, karena bisa menjadi salah satu jawaban mengapa penambangan ilegal masih terus dilakukan hingga saat ini.
Membangun kedekatan dengan informan menjadi hal pertama yang dilakukan oleh seorang peneliti yang ingin mendapatkan data yang lebih mendalam. Partisipasi peneliti dalam banyak kegiatan bersama informan merupakan salah satu usaha yang bisa dilakukan untuk membangun kedekatan. Wawancara mendalam dan pengamatan partisipatif menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam penelitian etnografi, dan bisa dilakukan dalam saat yang bersamaan.
Wawancara mendalam yang baik juga menuntut pewawancara untuk memiliki ingatan yang waspada, pemikiran yang logis dan kemampuan komunikasi yang bagus. Dalam setiap kesempatan wawancara, pewawancara harus:
• Menyimpan di dalam ingatan bagaimana topik-topik berhubungan dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang lebih luas, yang menjadi pertanyaan penelitian.
• Menentukan apakah orang yang diwawancara memahami topik yang ditanyakan – bila tidak pewawancara harus memperkenalkan topik tersebut lebih dulu.
• Memahami apakah hubungan-hubungan logis yang diwawancara sejalan dengan yang dimiliki oleh pewawancara.
• Menentukan apakah perlu untuk meneruskan arah dan ide-ide baru pada saat wawancara.
• Menjelaskan makna dari istilah-istilah yang dipakai dalam pertanyaan – baik menjelaskannya kepada yang diwawancara, maupun menjelaskan kepada pihak lain (pembaca laporan etnografi) pada saat menuliskan catatan lapangan.
• Mengenali ketika ide-ide orang yang diwawancara dikemukakan, dan menjelaskannya secara rinci dengan cara yang bisa dipahami oleh semua orang yang membaca catatan atau transkrip hasil wawancara.

Menjadi seorang peneliti etnografi
Observasi dan wawancara merupakan hal utama yang menjadi tugas seorang peneliti etnografi, yang tampaknya bisa dilakukan oleh siapa saja – yang memiliki keingintahuan yang besar terhadap kehidupan kelompok masyarakat lainnya. Namun ada hal lain yang tak kalah penting yang menjadi ‘persyaratan’ utama bila seseorang ingin menjadi seorang peneliti etnografi. LeCompte dan Schensul (1999:162-176) menguraikan tentang cara kerja dan kepribadian seorang peneliti etnografi yang baik.

Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang peneliti etnografi:
• Seorang peneliti etnografi harus senang berinteraksi dengan banyak orang, bahkan seringkali secara intensif. Seorang peneliti etnografi harus bisa mendengarkan. Dalam beberapa kasus kehadiran dalam jangka waktu panjang dibutuhkan untuk mendengarkan seorang informan yang pendiam – butuh ketekunan untuk membuat seorang pendiam bisa bicara banyak.

• Seorang peneliti etnografi harus senang memberikan pertolongan. Seringkali informan juga meminta peneliti untuk menolongnya melakukan sesuatu dalam sebuah situasi sulit. Memberikan pertolongan ini merupakan suatu ‘imbalan’ atas informasi yang diberikan oleh informan.

• Seorang peneliti etnografi harus punya rasa ingin tahu yang besar, dan menunjukkannya dengan bertanya kepada informan tentang permasalahan penelitian dalam kesempatan forman dan informal. Latihan bertanya – terutama untuk pertanyaan yang bersifat pribadi, terutama kepada orang yang sama sekali asing dan baru dikenal – diperlukan untuk menjadi seorang peneliti etnografi yang baik.

• Seorang peneliti lapangan yang baik umumnya adalah seorang yang pandai bergaul yang senang berbincang dengan orang lain dan tidak berkeberatan bertanya banyak tentang banyak hal yang sifatnya personal. Keterampilan dalam pengamatan juga sangat membantu dalam penelitian lapangan; peneliti yang bisa menemukan informasi melalui interaksi antar-personal harus bisa untuk ‘berdiri di belakang’ dan mengamati apa yang terjadi tanpa terpengaruh untuk terlibat dalam interaksi tersebut.

• Seorang peneliti etnografi juga adalah seorang ‘pembelajar’ yang baik. Lebih baik bagi seorang peneliti untuk menunjukkan sikap ‘ingin belajar’ daripada ‘sok tahu’. Sikap ‘sok tahu’ akan membuat informan tidak akan menerangkan banyak hal kepada peneliti. Padahal apa yang diterangkan oleh informan bisa menjadi jawaban atas pertanyaan penelitian bagi peneliti.

• Fleksibel dan tidak dogmatis, dan kemampuan untuk hidup di dalam ‘ketidakjelasan situasi’ juga diperlukan oleh peneliti etnografi. Seorang peneliti etnografi seringkali dihadapkan pada situasi di mana aturan-aturan budaya untuk bersikap dan berpikir masyarakat setempat sangat berbeda dengan yang diyakininya selama ini – bahkan mungkin bertolak belakang. Pada situasi semacam ini seorang peneliti harus bisa mengambil keputusan yang terbaik untuk kedua belah pihak.

• Penelitian etnografi memubutuhkan seorang peneliti etnografi yang bisa membangun hubungan kerja dan hubungan pribadi yang baik dengan, dan di antara kelompok masyararakat dengan pendapat, gaya hidup (lifestyles), dan situasi sosiopolitik yang berbeda bahkan seringkali bertentangan, sementara dalam waktu yang bersamaan harus mengendalikan konflik di dalam dan antar kelompok yang tidak dapat terelakkan sehingga bisa dihasilkan hasil penelitian yang baik.

• Dibutuhkan juga kreativitas untuk menghadapi situasi mendadak yang bisa membuat rencana penelitian berubah. Seorang peneliti tidak bisa mengatur situasi sesuai dengan kemauannya sendiri – yang bisa dilakukan adalah mengatasi situasi yang tidak sesuai dengan rencana. Ketika berhadapan dengan seorang informan yang tidak dikenal, seorang peneliti harus siap menghadapi apa pun yang akan dilakukan olehnya – misal berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

• Peneliti lapangan yang baik harus memahami arena kebudayaan yang akan diteliti dan segala kemungkinan faktor-faktor kontekstual yang potensial berhubungan atau berpengaruh pada hal tersebut.

• Peneliti yang baik harus bisa menerjemahkan apa yang dilihatnya (di lapangan) kedalam teks – baik secara lisan maupun tertulis. Tidak terlalu penting untuk seorang peneliti bisa menuliskan teks secara detail. Tetapi amat penting bagi seorang penelitiuntuk bisa memperbincangkan, mengingat kembali, dan merekam detail secara obyektif, tanpa dikacaukan oleh pertimbangan nilainya sendiri.

• Tidak semua orang bisa menjadi seorang peneliti etnografi, namun dengan sejumlah pelatihan dan pengalaman kemampuan seorang peneliti etnografi bisa dibentuk.

Peneliti dan informan: sebuah negosiasi identitas
Peneliti dan informan adalah dua identitas yang berbeda dan ‘jelas’ batasnya – yang satu tidak akan menjadi lainnya, meskipun bisa ‘bertukar tempat’. Namun dalam penelitian etnografi ada usaha untuk mendekatkan ‘jarak’ keduanya berkenaan dengan data. Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan ‘menyamakan’ identitas – misal: ‘sama-sama’ Umat Katolik, ‘sama-sama’ orang Sunda, ‘sama-sama’ Orang Cigugur, ‘sama-sama’ laki-laki. ‘Kesamaan’ diharapkan akan bisa mendekatkan identitas lainnya – antara peneliti dan informan. Membuat ‘kesamaan’ ini juga merupakan salah satu strategi yang bisa dipilih oleh peneliti di lapangan sebagai upaya membangun kedekatan (rapport).
Seseorang bisa memiliki lebih dari satu identitas atau multiple identity yang terjadi karena adanya tempat aktivitas yang berbeda. Identitas seseorang atau sekelompok orang dihasilkan secara simultan dalam banyak tempat aktivitas yang berbeda, oleh unsur-unsur yang berbeda, untuk beberapa tujuan yang berbeda pula. Identitas seseorang dalam kaitannya dengan tempat dimana ia hidup – di antara tetangga, teman-teman dan keluarga – hanyalah satu konteks sosial dan mungkin bukanlah suatu hal yang penting dalam pembentukan identitas. Adanya beberapa unsur yang beragam dalam proses penyebaran identitas, berubah-ubah, representasi yang berhubungan dalam tempat yang berbeda dari pembentukan karakter yang berbeda, itulah yang harus dipahami sebagai fakta sosial (Marcus,1994:46). Dalam hal ini identitas ‘peneliti’ dan ‘informan’ merupakan suatu pilihan berkenaan dengan kegiatan penelitian etnografi.
‘Mahasiswa’, ‘tamu’, ‘umat Katolik’, dan ‘frater’ merupakan beberapa pilihan yang bisa menjadi identitas para peserta UFO. Identitas adalah pemikiran atau konsep yang menjelaskan tentang individu sebagai bagian dari kolektif tertentu. Seseorang bisa memiliki lebih dari satu identitas yang berkenaan dengan kolektif. Artinya seseorang bisa menjadi anggota dari lebih dari satu kolektif; dan bisa memilih salah satu identitas pada suatu saat dan berganti pada identitas lainnya pada saat yang lain. Identitas dilihat sebagai suatu bentuk yang cair dan merupakan suatu bentuk ekspresi (Lash & Friedman, ed., 1992). Pemilihan identitis ini juga tidak lepas dari ‘kepentingan’ – untuk apa identitas tersebut dipilih.
Identitas (yang dipilih) peneliti juga tidak bisa lepas dari persepsi informan tentang identitas tersebut – bagaimana informan mempersepsikan identitas peneliti. Ketika seorang peneliti adalah seorang pastor maka informan tidak bisa menghilangkan persepsi tentang seorang ‘pemuka agama’ dari benaknya. Apalagi bila informan adalah seorang umat Katolik. Dalam situasi ini identitas ‘pastor’ milik peneliti sangat berpengaruh pada informan. Di satu sisi peneliti sebagai pastor bisa mendapatkan berbagai kemudahan, karena umat banyak memberikan bantuan informasi. Di sisi lain umat mungkin tidak memberikan jawaban ‘sebenarnya’ – ada unsur ‘jaim’, dan ‘tidak enak pada pastor’. Peneliti yang sorang pastor tidak mungkin mendapat jawaban yang ‘sebenarnya’ bila pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan kepemimpinan – mungkin sulit bagi umat untuk bisa menyebutkan hal-hal buruk berkaitan dengan kepemimpinan pastor paroki di hadapan peneliti yang seorang pastor.
Sama halnya dengan posisi frater sebagai peneliti. Meskipun belum sepenuhnya menjadi pastor, namun umat sudah memiliki konstruksinya sendiri tentang ‘seorang frater’ di kepalanya. Perlakuan umat tentu akan berbeda bila peneliti bukan seorang frater, atau bahkan bukan ‘orang Katolik’. Frater juga menemukan posisi yang berbeda ketika yang menjadi informannya adalah seorang pastor, pastor paroki, atau uskup. Identitas ‘peneliti’ mngkin menjadi hal yang tidak mudah untuk dipilih ketika harus mewawancarai para ‘petinggi’. Namun ketika permasalahan yang diteliti berkenaan dengan kebijakan gereja, pastor dan juga uskup menjadi informan kunci yang harus diwawancarai secara mendalam – bagaimana mereka menentukan kebijakan.
Sebagai ‘insider’ – seperti disebutkan pada halaman sebelumnya – pastor dan frater sudah punya posisi mapan, yakni sebagai ‘gembala’, dan pemuka agama. Posisi peneliti baru akan berlaku bila pastor atau frater melakukan penelitian etnografi. Dan pada saat itu proses negosiasi identitas terjadi – antara peneliti dan ‘pemuka agama’. Dengan berbagai kepentingan (penelitian, kemudahan memperoleh data, kepemimpinan, tugas penggembalaan, dan ‘pelayanan dari umat’) menjadi pertimbangan pemilihan identitas. Peneliti yang baik harus bisa memilih identitas pada saat yang tepat.

Penutup
Seseorang tidak akan menjadi seorang peneliti etnografi hanya dalam waktu 5 (lima) hari – selama kegiatan UFO berlangsung. Sebagaimana dikemukakan oleh LeCompte dan Schensul (1999:162-176), dibutuhkan pelatihan, dan pengalaman yang panjang bagi seseorang untuk bisa menjadi seorang peneliti etnografi yang baik. Diharapkan usaha untuk menjadi seorang peneliti etnografi tidak hanya berhenti sampai di sini. Masih ada banyak kesempatan bagi peserta untuk melanjutkan pengalaman meneliti di tempatnya bertugas kelak – di paroki, di tengah-tengah umat.
Proses belajar tidak akan berhenti setelah sekolah usai. Romo Mangunwijaya mengatakan bahwa ‘belajar sejati’ akan terus berlangsung selama seseorang punya kesadaran diri untuk memperhatikan, mempelajari dan menekuni tentang segala hal yang dialaminya sehari-hari secara terus menerus. Romo Mangunwijaya menyebut proses ‘belajar sejati’ sebagai proses belajar seumur hidup. Diharapkan pengalaman live-in ini menjadi awal dari proses belajar yang tak akan pernah berhenti. Tentu diharapkan pula akan munculnya kesadaran diri untuk memperhatikan, mempelajari dan menekuni segala hal yang dialami sehari-hari bersama umat untuk membangun gereja.



Daftar Pustaka
Angrosino, Michael V. & Kimberly A. Mays de Perez
2000 Rethinking Observation: From Methods to Context, dalam Denzin & Lincoln (ed.) Handbook of Qualitative Research, California: Sage Publication, hlm. 673-96.
Bernard, H. Russel
1994 “Methods Belong to All of Us”, dalam Robert Borofsky (peny.) Assessing Cultural Anthropology, New York: McGraw-Hill,Inc hlm.168-179.
Burroughs, Catherine B, Jeffrey David Ehrenreich (ed.)
1994 Reading the Social Body, Iowa: University of Iowa Press.
Ember, Carol R. & Melvin Ember
1990 Anthropology, New Jersey: Prentice Hall, 6th ed.
Ervin, Alexander M.
2000 Applied Anthropology: Tools and Perspectives for Contemporary Practice, Boston: Allyn & Bacon.
Fine, Michelle
1994 Working the Hyphen: Reinventing Self and Other in Qualitative
Research”, dalam Denzin & Lincoln (ed.) Handbook of Qualitative Research, California: Sage Publication (70-82).
Goffman, Erving
1959 The Presentation of Self in Everyday Life, New York, Penguin Books.
Lash, Scott & Jonathan Friedman (ed.)
1992 Modernity and Identity, Oxford: Blackwell.
LeCompte, Margaret D. & Jean J. Schensul
1999 Designing and Conducting Ethnographic Research, Walnut Creek: Altamira Press.
Marcus, George E.
1994 “After the Critique of Ethnography: Faith, Hope, and Charity, But the Greatest of These Is Charity”, dalam Robert Borofsky (ed.) Assessing Cultural Anthropology, New York: McGraw-Hill, Inc. , hlm.40-54.
Pradipta, Yosef Dedy
2004 Pendidikan dan Negara sebagai Kontestasi Kekuasaan, Disertasi, Universitas Indonesia, Depok: tidak diterbitkan.
Schensul, Stephen L, Jean J. Schensul & Margaret D. LeCompte
1999 Essential Ethnographic Methods: Observations, Interviews and Questionairs, Walnut Creek: Altamira Press.

August 30, 2008

Gerak Seminari awal

Citepus tahun-tahun pertama..

Dalam sejarahnya, dinamika acara Seminari Tinggi Fermentum ditentukan bukan oleh rektor atau pembimbing. Gerak Seminari ditentukan oleh kesepakatan para penghuninya dengan didampingi oleh rektor. Kemandirian, kedewasaan, dan tanggung jawab sungguh-sungguh diuji dan diasah di sini. Semuanya diatur oleh komunitas frater karena mereka sendirilah yang mengetahui segala kegiatannya. Tanggung jawab sejauhmana kesepakatan itu dibuat dan ditaati dikembalikan kepada masing-masing pribadi. Rektor selaku pembimbing menjadi kawan seperjalanan dalam pergulatan hidup panggilan.
Vlsi memang digariskan dalam perbincangan dengan Bapak Uskup dan para pastor praja. Sekarang tinggal bagaimana para frater berusaha mengatikulasikannya dalam kegiatan rohani, pastoral, studi, dan sehari-hari, Ada banyak cara untuk membuat vlsi menjadi imam yang pergi ke ‘pasar’ dan imam yang mendorong umatnya untuk pergi ke ‘pasar’ terinternalisas dalam diri para frater. Internalisasi ini diternpuh dengan formatio.

Supaya para frater mampu mengajar seperti dalam diri Yesus sendiri terdapat aspek Guru dalam karyaNya maka mengajar SD, SMP, Bina Iman, P1, SMU, Katekumen, dan Persiapan Komuni Pertama dimasukkan dalam kegiatan pastoral para frater. Aspek kepemimpinan pelayanan dibina dalam kegiatan-kegiatan pendampingan kelompok-kelompok kategorial.

Dalam kehidupan seminari, banyak acara yang diadakan sebagai sarana melatih diri. Sharing, Ibadat harian, Perayaan Ekaristi, Olah Raga komunitas, Rekolcksi bulanan, makan bersama, Latihan Koor. Konferensi. Rapat Keluarga, Wawasan, rekreasi bersama, Kunjungan Keluarga, Retret tahunan, Sharing Kitab Suci, dan segala acara seminari merupakan bentuk-bentuk yang digunakan menggembleng diri supaya semakin memahami makna panggilan.

Sebagai sarana transportasi berkarya dan belajar, disediakan sepeda bagi para frater masing-masing satu buah, Dengan sepeda inii acara-acara seperti kunjungan keluarga, kuliah, dan pastoral dijalankan. Selain melatih kesabaran, kesederhanaan, dan kerendahan hati diharapkan pula bahwa dengan banyak menggenjot sepeda, para frater semakin sehat badannya. Men sana in corpore sono. kata pepatah.

Kekuatan menjalani kehidupan diperoleh pula dan mereka yang sama-sama sepanggilan dan se-unit. Untuk itu, sering diadakan sharing panggilan ataupun sharing kehidupan dalam unit. Acara ini diadakan supaya para penghuni satu unit semakin mengenal dalam masing masing pribadi. terjalin interaksi ang intensif sehingga dapat saling meneguhkan, saling membantu, dan saling menegur. Suasana keluarga dibentuk dengan komunitas kecil supaya para frater pun sernakin merasai makna kebersamaan. Kekeluargaan diciptakan untuk mewujudkan komunitas basis gerejani. Church is a dynamic community of communities.

Menjadi seorang imam sedikit-sedikit harus bisa menyanyi. Untuk itu perlu diadakan latihan koor terutama lagu-lagu gerejani . Selain itu, dengan latihan koor ini, para frater diharapkan mampu mengasah sense of music-nya agar juga peka menangkap tanda-tanda kasih Allah dalam Iingkungan ini dan dalam diri sesamanya.

Seminggu sekali, para frater latihan koor mempersiapkan kidung untuk ibadat dan perayaan ekaristi. Dalam acara-acara insidental yang agak besar dan khusus, sperti penjubahan, jika anggotanya lengkap, koornya adalah para frater.

Tidak jarang pula selama dalam perjalanan kehidupan panggilan di Seminari, ada yang menemukan bahwa imamat bukanlah panggilan hidupnya. Oleh karena itu mereka mengundurkan diri dari Seminari. Mereka yang mundur pun rekan-rekan kami dan tetap menjadi rekan perjalanan. Saling memperkaya motivasi panggilan dan meneguhkan panggilan dalam menempuh kehidupan, diadakan acara perpisahan.

Orientasi Rohani dan Skolastik, saat ini terpaksa digabung dalam satu seminari meskipun beda unit. Hal ini dilakukan mengingat Seminari Tinggi Ji Suryalaya Sari hendak digunakan sebagai kantor komisi-komisi. Lagi pula masih banyak unit yang kosong di Fermentum Citepus ini. Akhirnya memang diputuskan bahwa TOR digabung di Citepus.
Ada beberapa acara yang dilakukan bersamasama seperti konferensi, olah raga, dan perayaan ekaristi pada hari-hari tertentu. Akan tetapi secara keseluruhan, masing-masing mempunyai warna acara tersendiri.
Konferensi diperlukan supaya setiap kegiatan bersama dapat dilihat sejauh mana kegiatan tersebut berdaya guna bagi perkembangan pribadi masing - masing frater. Kegiatan pastoral yang dilakukan pun perlu mendapat bimbingan sejauh mana semuanya itu mendukung panggilan imamat. Dalam forum mi, setiap frater diberi kesem-patan untuk menyatakan gagasannya terhadap rencanarencana kegiatan yang akan dilaku-kan bersama. Kami meran-cang kegiatan kami sendiri, kami yang melak-sanakan dan kami pula yang mengevaluasinya.
Untuk mengembangkan kerja sama antarfratcr, dibentuklah seksi-seksi yang disebut kebidelan. Kami mencoba untuk bertanggung jawab terhadap setiap kebidelan yang ditangani masing-masing frater. Kami mengembangkan diri kami maka tugas apa pun jadilah. Mereka yang belum mahir dalam soal pelistrikan, harus belajar dengan menjadi bidel listrik.

Kerja adalah sesuatu yang tidak boleh terlewatkan. Membersihkan rumh, mengepel, menyiram bunga dan tanaman, menyapu, mengatur ruangan, kosek WC, kuras bak kamar mandi, menyedot debu, semua pekerjaan tangan harus dilakoni agar tangan semakin terampil dan hati semakin diasah kepekaan dan kerendahannya. Sejauh manakah engkau rela melayani kawanku? 1 2… 3.... ayo pegang alat kerja masing-masing, kita bekerja tak jemu-jemu!!! Bekerja yang dilakukan umumnya per unit sehingga ini mendukung vlsi dibentuknya pola unit bahwa di dalam unit terjadi interaksi yang lebih intensif dalam bekerja sama, tolong menolong, dan toleransi.
Setelah lelah seharian bekerja dan belajar, wajar bila sebentar melepaskan penat dengan rekreasi. Ya ngobrol, ya nonton televisi, ya baca-baca. Rekreasi dan relaksasai mewarnai kehidupan para frater. Nonton televisi hanya diijinkan pada hari Rabu malam, Sabtu malam, Minggu, dan pada hari-hari khusus. Itu saja dirasa cukup bagi para frater.

Selain rekreasi pribadi macam nonton TV seperti itu, kadang-kadang para frater mengadakan acara rekreasi bersama dengan pergi ke suatu tempat rekreasi, ke pantai, ke kawah, ke hutan, ke danau, atau ke gunung. Semua itu dijalani supaya para penghuni Fermentum dapat mengen-dorkan syaraf otak sembari mengenal dan menjalin persahabatan yang lebih akrab di antara para frater sendiri.
Salah satu acara yang tak kalah penting adalah ziarah. Para frater di bulan Oktober atau Mei pergi ke tempat ziarah. Peziarahan adalah suatu usaha penyadaran din bahwa seperti itulah hidup. Ada sesuatu yang harus dicapai yaitu Knistus, Peziarahan adalah refleksi batin perjalanan hidup manusia di dunia ini Hendak ke mana engkau?, itulah pertanyaan yang ingin direnungkan di hadapan Allah. Dalam peziarahan mi pula ditumbuhkan semangat bela nasa, bagaimana penderitaan dialami oleh Knistus sehingga kita pun dapat turut serta dalam sengsara-Nya dalam jalan hidup panggilan kita masing-masing.


Ada kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama-sama, ada pula hal-hal yang mesti dilakukan sendiri. Bersih-bersih rumah, cuci perabotan, membereskan dan memperindah kebun, apalagi latihan koor, dilakukan secara bersama-sama dan dalam semangat kebersamaan Banyak keuntungan yang diraih dan aktivitas bersama ini, hubungan antar saudara makin akrab, satu sama lain dapat saling mengenal dan dikenal, dan semua yang dikerjakan pun terasa lebih ringan dan lebih indah. Yang Iebih penting lagi, bekerja bersama dapat saling menguatkan dan meneguhkan para frater dalam menjalani masa ‘perjuangan” bersama-sama. Dengan demikian, kebersamaan fisik, meski tetap penting, bukanlah tujuan utama yang hendak dituju. Yang pertama-tama ingin dicapai adalah kebersamaan hati yang mendorong semua anggota komunitas untuk berkembang bersama.

Untuk membantu perkembangan pribadi, para frater juga diberi keleluasaan untuk mengatur aktivitas harian yang bersifat pribadi. Waktu doa, meditasi, bacaan rohani, studi, pelayanan “pastoral”, pengaturannya diserahkan kepada tiap-tiap frater sendiri. Tentu hal ini menjadi tantangan yang cukup besar bagi para frater. Selalu ditegaskan bahwa penyerahan manajemen pribadi tidak berarti setiap frater bisa bebas berbuat sesuka hati, juga tidak berarti bahwa Rektor berlepas tangan. Setiap frater sendirilah yang mengetahui proporsi kebutuhan masingmasing: berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk doa, studi, dan sebagainya.






Citepus Mulai Dibangun II




Seminari Tinggi di Suryalaya Sari 5 tidak mampu lagi menampung jumlah seminaris yang ada. Karena keadaan yang memaksa, gedung Seminari Tinggi Citepus yang belum seratus persen selesai harus ditempati. Satu unit bangunan diusahakan segera diselesaikan. Awal bulan Agustus 1995, meski belum ditempati. Pst. Ferry Pr., ditemani dengan seorang frater menghadap ketua Rukun Warga, Rukun Tangga, dan Ketua Keamanan kampung. Mereka “kulanuwun” dan menyampaikan bahwa sebentar lagi gedung asrama Unpar akan ditempati karena asrama yang ada di JI. Suryalaya Sari tidak cukup menampung semua mahasiswa. Ketua RW. RT. dan Ketua Keamanan kampung memberikan wejangan bahwa kehadiran anggota asrama diterima dengan baik, Para anggota asrama diharapkan untuk menjalin relasi yang akrab dengan lingkungan sekitarnya. Jangan mengasingkan diri. Selain itu diharapkan pula bahwa anggota asrama dapar menunaikan kewajiban-kewajiban sebagaimana warga masyarakat lainnya antara lain, membayar iuran RT dan ikut menjaga keamanan dengan ronda malam.

Tanggal 12 Agustus 1995, beberapa frater mulai merintis tempat untuk dihuni. Mereka mulai menginap di sebuah unit. Waktu itu keadaannya masih seadanya, sangat sederhana sekali. Siang hari mereka membersihkan rumah dan mengangkut perabotan-perabotan seperti meja, kursi, bed, almari dari Bale Endah untuk mengisi unit yang masih kosong melompong. Mereka benar-benar berawal dari ketiadaan.

Tanggal 21 Agustus 1995, semua frater skolastik pindah ke Citepus meski dengan keadaan yang seadanya. Mereka masih menempati satu unit karena yang lainnya belum selesai. Karyawati yang biasanya memasak belum ikut pindah ke Citepus karena tempatnya belum memungkinkan. Selama itu pula, kurang Iebih tiga mingguan, makanan diambil dan Suryalaya Sari dengan menggunakan vespa.

Pada waktu itu, bila siang hari mereka kepanasan dan pada malam hari kedinginan karena bentuk bangunan yang terbuka dan belum adanya perlengkapan tidur yang memadai. Pada saat hujan, terjadi kebocoran di mana-mana sehingga harus memasang ember untuk menampung tetes air hujan.
Program yang harus dijalankan para frater saat itu adalah sosialisasi dan menata diri. Sosialisasi dijalankan supaya para penghuni Seminari tidak menjadi makhluk asing bagi masyarakat sekitar apalagi dengan bentuk bangunan yang terasa seperti villa ini, Setiap saat, para frater diwajibkan ambulatio untuk mengenal tetangga. Pada saat lebaran, semua diutus berdua-dua untuk mengunjungi rumah tetangga. Sembari mencari ketupat kita berkenalan. Setelah sampai di rumah, dibuatlah peta sosialisasi.

Pada waktu itu penghuni seminari ini merasa risih dengan tembok tinggi yang mengelilingi kompleks ini. Dikhawatirkan bahwa pagar ini menghalangi sosialisasi tetapi semuana kemhali kepada sikap para penghuni. Sejauh mana mau berusaha memasyarakat meski dengan bangunan “angkuh” d tengah lingkungan yang sederhana.

Beberapa kegiatan yang dilakukan para frater selain kunjungan dan ronda adalah olahraga volley bersama penduduk sekitar. Seminari menyediakan lapangan dlan bola. Setiap hari Rabu sore dan dan Minggu sore, diadakan olahraga. Banyak pemuda yang datang untuk berolah raga atau sekedar cuci mata. Pada kesempatan 17 agustusan, seminari menjadi tempat perlombaan bola voIIey antar RT se-RW 10. Pada tanggal 3 Februari 1997, Seminari mengadakan silaturahmi dengan berbuka puasa bersama tetangga RT dan tetangga sebelah seminari. Dalam acara ini hadir Pak RW, Pak RT, Pak Ustadz. dan tokoh masyarakat Iainnya.

Kami tidak melulu akrab dengan mereka yang dewasa. Anak-anak yang datang ke Seminari pun sebisa mungkin kami dekati. Kami mengajak mereka untuk bermain dan belajar. Anak-anak putri diajari menyanyi dalam bahasa lnggris oleh seorang frater, yang laki-laki diajar menggambar, dan sekarang, scorang frater menyediakan alat-alat permainan & bacaan anak-anak.

Beberapa hasil yang tampak dan sosialisasi ini adalah tidak sungkan-sungkannya para tetangga untuk datang ke seminari sekedar bermain atau ada keperluan. Kalau mereka membutuhkan sesuatu yang di Seminari berkelimpahan, dengan suka rela kami memberikannya seperti air. Kami sadar bahwa kami juga termasuk anggota Gereja. Untuk itu, kami menyediakan Seminari ini dan diri kami sebagai tempat dan pendamping olah rohani. Secara berkala kami menyediakan seminari Fermentum sebagai tempat weekend, rekoleksi, rapat, forkom, dll. Bukannya menyaingi tempat retret tapi kami sadar bahwa seminari ini terwujud atas budi baik umat Katolik, sudah sepantasnya kami wujudkan balas kasih kami dalam rupa penyediaan tempat dan tenaga, Kami dapat belajar mendampingi dan kami bersyukur bahwa kami dapat bersosialisasi pula dengan umat Katolik yang tentu saja bukan dunia asing bagi kami yang ada di Seminari.
Hampir setiap minggu ada saja kelompok yang ingin menggunakan Seminari Fermentum untuk mengadakan kegiatan di Seminari karena tempat dan letaknya yang masih ada dalam kota Bandung. Akan tetapi tidak semua permintaan dapat kami terima. Kami harus membatasi din karena kami pun butuh waktu untuk mengadakan rekoleksi sendiri. Dari sanalah kekuatan hidup rohani ditimba dan panggilan ilahi direnungkan.

Citepus mulai dibangun





Gedung Seminari Tinggi Fermentum Citepus mulai dibangun pada bulan November 1994. Sebelumnya, Mgr. Alexander Djajasiswaja Pr., telah mengumpulkan tokoh-tokoh yang mampu memahami visi beliau dan menjadikannya panitia pembangunan Seminari Tinggi Fermentum. “Mengapa mesti melibatkan banyak orang?” “Pembangunan ini bukanlah pembangunan yang sekali keluarkan biaya lalu jadi, tetapi
Ini harus diangkat oleh umat.” Ini menjadi khas keuskupan Bandung. Tidak ada keuskupan lain yang seperti ini.
Waktu itu, di keuskupan Agung Semarang belum ada imam dioses yang menjadi uskup. Uskup yang ada bukanlah diosesan. Melihat Seminari Tinggi yang ada di Jl. Tjode 2 sudah tidak mencukupi lagi dan dengan pertimbangan lainnya, akhirnya Mgr. Soegijopranoto SJ.. mencari tempat lain yang lebih luas bagi pembinaan calon imam diosesan. Rm. L. Suasso de lima de Padro SJ dan Rm. Leo Soekoto SJ., yang menjabat rektor pada waktu itu segera mencari tanah untuk pembangunan Seminari Tinggi. Pembangunan dibiayai keuskupan.

Panitia pembangunan Seminari Tinggi Keuskupan mulai bergerak. Jl. Jawa 22 yang waktu itu menjadi wisma tahun rohani menjadi sekretariat panitia pembangunan. Berbagai cara pengumpulan dana dilakukan. Pengajuan proposal, bazar, door price, permohonan ke paroki-paroki, semua dilakukan untuk membiayai pambangunan. Paroki. kelompok kategorial, perusahaan, perorangan, keluarga, dan banyak lainnya memberikan sumbangan yang tidak sedikit hingga akhirnya dana yang dianggarkan tercukupi. Tidak hanya dalam bentuk uang, tidak jarang yang menyumbang bahan-bahan bangunan antara lain cat.
Tanah untuk kompleks gedung Seminari Tinggi diupayakan. Namun tidak ada lagi tanah seluas paling sedikit seribu meter persegi yang Ietaknya ada di daerah kota Bandung ini. Mgr. Alexander Djajasiswaja ingat bahwa pernah membeli tanah sedikit demi sedikit hingga akhirnya seluas 20.000 meter persegi. Tanah ini dibeli melalui Pst. Van Iperen OSC., dan para haji yang mempunyai tanah tersebut. Waktu itu sebenarnya Pst. Van Iperen OSC., harus bersaing dengan para konglomerat dan pengusaha besar yang juga ingin membeli tanah tersebut. Akan tetapi Haji-haji pemilik lebih mempercayai Pst. Van Iperen OSC., dengan alasan bahwa Pst. Van Iperen OSC., mempunyai sekolah, sekolah tersebut pasti membutuhkan asrama, yang jelas ini untuk kepentingan pendidikan. Haji-haji lebih terbuka untuk itu daripada nanti dikuasai konglomerat yang malah dapat menindas rakyat. Jadi pada awalnya, mereka mulai mengetahui bahwa Pst. Van Iperen OSC akan membangun asrama di sini. Tidak hanya Aloysius tetapi juga asrama Unpar.

Tanah yang dibeli pada waktu itu seluas 20.000 m2. Akan tetapi, yang dapat dipergunakan tinggal sekitar 5.000 m2 karena ditukar dengan PT. Batununggal di daerah jalan Soekarno-Hatta untuk pembangunan kompleks sekolah Aloysius.
Pada waktu Romo Mangun lewat Bandung. Mgr. Alexander Djajasiswaja meminta beliau untuk merancang bangunan bagi Seminari Tinggi Keuskupan Bandung. Romo Mangun berkomentar bahwa tanah ini bagus. Tanah yang tidak rata justru dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk pembangunan unit-unit.
Apa yang mendasari bangunan bentuk unit? Bentuk unit ini khasnya Fermentum. Bentuk ini dilandasi oleh pemikiran bahwa selama ini, model seminari yang ada adalah bentuk tangsi. Anak tangsi mempunyai kenakalan tinggi. Kalau Seminarinya juga model tangsi, hasilnya juga anak-anak model tangsi. Besar tetapi tidak pernah ada interaksi yang sungguh-sungguh mendalam karena semua dapat berlindung di belakang komunitas yang serba besar. Dalam unit-unit, besar kemungkinan terwujudnya kerja sama, tahu kelemahan orang lain, secara khusus juga dapat saling membantu. Semua interaksi ini dilakukan dengan lebih intens.

Tanggal 11 November 1994. Gedung Seminari Tinggi mulai dibangun. Panitia pembangunan memperhitungkan bahwa proses pembangunan akan memakan waktu selama dua tahun atau lebih cepat sedikit dan perkiraan tersebut. Diandaikan bahwa pada awal tahun 1996 gedung sudah selesai. Akan tetapi, dalam proses pembangunan, biaya melonjak tinggi. Harga bahan-bahan bangunan mengalami kenaikan terutama kayu sebagai bahan baku utama gedung ini. Lokasi yang tidak dapat dijangkau olch truk pengangkut bahan-bahan bangunan membuat waktu dan biaya bertambah besar Bahan-bahan bangunan harurdiangkut dengan tenaga manusia. Hal ini membuat waktu pembangunan semakin lama. Biaya pengangkutan yang semula tidak diperhitungkan harus diadakan. Awal tahun 1996, gedung belum sepenuhnya selesai. Biaya yang semula dianggarkan 1,1 milyar, kini membengkak menjadi 1,7 milyar. Keuskupan harus rnerogoh kantongnya lebih dalam. Panitia pembangunan Seminari Tinggi tidak dapat mohon sumbangan ke paroki-paroki karena beredar kabar bahwa biaya sudah mencukupi.

Fermentum di Sekepanjang



ERA SEKEPANJANG

Bapak Uskup Bandung mencita-citakan munculnya imam-imam yang sungguh-sungguh tangguh, baik dalam karya, doa, kepribadian, maupun persaudaraan. Untuk mewujudkan cita-cita ini beliau membayangkan adanya penempaan para frater dalam unit-unit kecil. Kehidupan dalam unit kecil akan membantu para frater untuk berinteraksi satu sama lain secara Iebih intim, begitu kira-kira pemikiran beliau.

Bayangan Bapa Uskup menjadi kenyataan pada tanggal 30 Agustus 1991. Ketika itu Suster-suster Maryknoll yang mempunyai rumah di Jalan Sekepanjang hampir menyelesaikan masa tugasnya di Keuskupan Bandung. Mulanya rumah tersebut diserahkan kepada Suster-Suster Ursulin untuk dijadikan Novisiat. Namun demikian, ternyata penempatan rumah di Sekepanjang oleh novis-novis Ursulin tidak semulus yang dibayangkan. Paling tidak hal itu terungkap dalam percakapan Bapak Uskup dengan Provinsial OSU pada waktu peresmian Seminari Menengah Cadas Hikmat. Menurut Suster Provinsial, masyarakat, selalu membandingkan mereka dengan Sustr-suster Maryknoll yang sebelumnya berkarya di sana. Misalnya, Suster-suster OSU menggunakan busana biara, sedangkan penghuni sebelumnya (Suster Maryknoll) menggunakan pakaian biasa. Hubungan dengan masyarakat sekitar pun menjadi renggang karena memang kegiatan novis novis OSU lebih banyak bersifat “ke dalam”,

Ursulin bermaksud menyerahkan rumah di Sekepanjang kepada Keuskupan. Bapak Uskup menerimanya dengan gembira dan menjadikan rumah tersebut sebagai salah satu unit pembinaan para frater Fermentum. Para frater yang tinggal di Sekepanjang didampingi oleh Pst. Nahak yang waktu itu sedang bc1ajar di Unpar. Di Sekepanjang, para frater berusaha meneruskan karya Suster-Suster Maryknoll yang dianggap sudah membuahkan hasil. Mereka bersedia meluangkan waktu untuk membantu perkembangan masyarakat sekitarnya, terutama anak-anak. Seringkali mereka tidak dapat tidur siang karena suasana rumah yang begitu ramai oleh anak-anak tetangga yang belajar dan bermain di seminari. Para frater tidak mengeluhkan hal ini karena memang hal itu sudah menjadi kesepakatan bersama. Lagi pula, pelayanan tersebut membantu para frater dalam belajar hidup meragi, hidup memasyarakat.

Kesadaran untuk mempersiapkan diri menjadi Imam yang kelak harus masuk “pasar” dan imam yang mendorong umat untuk mau masuk “pasar” terus bergema. Gema kesadaran inilah yang membuat para frater merelakan kepentingan dan “kesenangan” mereka duetakkan di bawah kebutuhan masyarakat sekitar. Upaya terlibat dalam kehidupan masyarakat ternyata tidak mudah. Ini juga dialami Para frater yang tinggal di Sekepanjang. Banyak hambatan yang muncul dan dalam maupun dan luar. Dengan mempertimbangkan berbagai hal, .Bapak Uskup akhirnya menyatukan kembali para frater di Komunitas Fermentum Buah Batu. Dengan demikian, Rumah di Sekepanjang yang baru dihuni satu tahun ditinggalkan dan digunakan untuk kebutuhan lainnya.

Pada tahun 1992, calon serninaris yang mendaftarkan diri cukup banyak. Serninari Tinggi Fermenturn yang ada di Suryalaya Sari tidak lagi rnemadai untuk menampung calon ini. Berbagai usaha lantas dilakukan untuk mencari rumah yang Iayak bagi mereka.
Di jalan menuju Lembang ada sebuah wisma tempat belajar para pekerja pabrik timah hendak dijual, Dengan segera Pst. Van Iperen OSC., mewakili Bapak Uskup segera berusaha membelinya. Tempatnya sudah terkotak-kotak sebagai tempat studi. Cukup untuk dijadikan tempat pendidikan calon imam. Uang sudah disediakan tinggal menunggu waktu lelang. Akan tetapi, usaha itu kandas oleh pihak yang lebih berkuasa. Lelang ditiadakan.
Dalam waktu yang mendesak tersebut, tatkala Mgr. Alexander Djajasiswaja Pr., melintas di Jl.Jawa 22, terpampang papan yang menyatakan bahwa rumah ini dijual atau disewakan. Karena keadaan memaksa, disewalah rumah tersebut untuk jangka waktu tiga tahun meski dengan harga sewa yang cukup tinggi. Ini semua terjadi sekitar bulan Mei 1992. Jadi memang JI. Jawa dijadikan tempat pembinaan tahun orientasi rohani (TOR) untuk sementara.
Pada waktu itu terpikir bahwa dalam waktu yang tersisa, rumah dapat dipersiapkan untuk dihuni. Setelah dilihat ternyata masih banyak yang harus dibenahi. Dinding, perabotan, kusen, pintu, jendela, halaman dan banyak ruangan dalam keadaan aus. Banyak yang harus diperbaiki supaya siap pakai.
Pada saat seminaris yang baru berdatangan, tempat belum juga siap huni. Seminaris baru mau tidak mau harus mempersiapkan rumah tersebut supaya layak huni. Dinding di cat, lampu dipasang, sekat kamar dibuat, bak air harus dibuat kalau ingin mandi. Kamar pun belum siap ditempati hingga mereka harus tidur berdesakan dalam satu ruangan. Air adalah barang yang sulit sehingga mandi hanya sehari sekali di kamar mandi Santa Angela.

Selain ketidaksiapan fisik, tenaga pembimbing dan acara-acaranya belum dipersiapkan dengan matang sehingga para seminaris yang baru harus mempersiapkan sendiri segala sesuatunya. Hal itu terjadi karena masih menunggu formator yang dipinjami dari Keuskupan Agung Semarang, sedangkan di Keuskupan Bandung sendiri belum ada formator yang memang khusus dipensiapkan untuk itu. Keberadaan Seminari Tinggi Fermentum di JI. Jawa sempat pula diwarnai dengan dua kali pergantian rektor. Rektor yang pertama kali mendampingi para frater adalah Pst. Siswo Subrata Pr. Beberapa waktu kemudian digantikan oleh Pst. St. Ferry Sutrisna W. Pr. Akhirnya disusul oleh Rm. Ant. Wahadi Martaatmaja Pr., yang berasal dan Keuskupan Agung Semarang. Sejak kehadiran Rm. Wahadi inilah kehidupan dalam arti fisik dan formation mulai tertata. Sejak dan jalan Jawa 22 inilah mulai tradisi ‘meminjam’ formator dan keuskupan lain yang baru berjalan beberapa tahun. Sesudah Rm. Wahadi Pr., sekarang formator yang ‘dipinjam’ dan Keuskupan Agung Semarang untuk mendampingi tahun rohani adalah Pst. Matheus Joko Setyo Setyoprakosa Pr.
Pemisahan yang semula hanya karena faktor jumlah inii tidak lama kemudian dibakukan. TOR dipisahkan dengan skolastik supaya acara-acara lebih tersusun dengan balk untuk mendukung kegiatan rohani yang intensif. Semula TOR digabung dengan skolastik, lalu dipisahkan. Penggabungan maupun pemisahan ini mempunyai sisi positif dan negatifnya masing-masing. Pemisahan ini mungkinkan pembinaan hidup formatio yang lebih terarah tanpa adanya gangguan dan skolastik yang mempunyai acara lebih bebas karena kegiatan perkuliahan dan pastoral.

Pada masa bimbingan Psi. St. Ferry SW Pr. tidak banyak yang dilakukan karena kesibukan beliau di Komisi Kepemudaan. Beliau juga hanya menjadi rektor tahun rohani untuk sementara waktu sambil menunggu formator yang tetap.
Di Ji. Jawa dalam masa bimbingan Rm. Ant. Wahadi M. Pr.. kegiatan yang dilakukan lebih pada kesepakatan bersama karena selain untuk belajar bersama, beliau juga memberi kesempatan untuk mandiri. Kegiatan yang diadakan lebih bersifat rohaniah karena memang dalam masa tahun rohani dipcrsiapkan hidup rohani yang mendasar.

Kegiatan para frater juga diarahkan pada kegiatan-kegiatan rohani seperti Taize. Doa Yesus, meditasi, adorasi, bimbingan rohani dan kegiatan rohani lainnya yang menunjang perkembangan hidup rohani. Diharapkan bahwa dengan terlibat dalam gerakan-gerakan doa, para frater mampu menginternalisasikan nilai-nilai rohani tersebut dalam dirinya.
Tidak hanya dalam hidup rohani semata. Kegiatan sosial juga diperhatikan. Secara rutin. para frater aktif terlibat dalam kcgiatan lingkungan. Dalam saat-saat khusus. Rm Wahadi Pr.. bcrsama dcngan frater mcnghadap ketua RT. Aktivitas di Jl. Jawa berakhir pada bulan Juli 1995 dengan berakhirnya sewa rumah. Semua penghuni JI. Jawa hijrah ke Suryalaya Sari.