melihat kebelakang

yaa.. seminari tinggi fermentum adalah seminari pendidikan calon imam keuskupan bandung. Perjalanan yang sangat panjang menghiasi berdirinya bangungan fisik dan bangunan rohani fermentum ini sendiri.
Selanjutnya...?

August 27, 2008

TERLALU MAHAL MENDIDIK HANYA MENJADI “TUKANG-TUKANG MISA”

Mgr.Alexander Djajasiswaja

Christus Dominus, dekrit Konsili Vatikan II tentang tugas kegembalaan para uskup, Bab III menyebut para pembantu Uskup diosesan dalam tugas pastoral. Para pembantu itu adalah para imam/klerus diosesan. Artikel no 28 dengan jelas merumuskan bahwa para imam diosesan memainkan peranan utama, karena mereka diinkardinasi atau diperuntukkan bagi Gereja Partikular dan harus mengabdikan diri seluruhnya kepada pelayanan Gereja tersebut dalam rangka menggembalakan stu bagian kawanan. Berkaitan dengan usaha tersebut, uskup diosesan selaku pemimpin Gereja particular, berkewajiban untuk membangun dan mempersiapkan para calon imam diosesan.
Untuk Keuskupan Bandung, para calon imam diosesan itu disiapkan di Seminari Tinggi Fermentum. Mgr.Alexander Djajasiswaja (alm), berkenan menyampaikan pandangan sekaligus harapannya dalam Sing Jadi Ragi.
Pada masa beliau (Mgr.Alexander Djajasiswaja) diangkat menjadi Uskup Bandung, situasi imam diosesan sangat memprihatinkan, hanya ada tiga imam diosesan di keuskupan Bandung ini.
Kendati hanya ada tiga imam diosesan, saat itu ada banyak imam dari ordo yang siap membantu. Beliau mengatakan bahwa keuskupan ini juga menjadi berkembang atas karya mereka. Namun apakah keuskupan akan selalu menggantungkan diri pada mereka? Tenaga mereka terbatas. Mereka punya tanggung jawab untuk mengembangkan ordonya. Dan bukan situasi yang baik bila tenaga keuskupan selalu bergantung pada bantuan ordo. Gereja particular atau keuskupan dapat disebut mandiri diantaranya bila sanggup menyediakan tenaga sendiri; yakni para imam yang khusus berkarya dan mengabdikan diri bagi keuskupan. Nah, di sini kita kekurangan tenaga itu, kita perlu menyiapkannya.
Mgr.Alexander Djajasiswaja mengutip perkataan Mgr. Geise, mantan uskup Bogor dalam suatu pertemuan, “Saya memang seorang fransiskan, namun sebagai uskup, saya punya tanggungjawab menyiapkan dan membangun tenaga diosesan, yakni para imam diosoesan”. Mgr.Alexander Djajasiswaja kemudian menambahi pula bahwa bahkan suatu ordo atau tarekat yang berkarya di suatu keuskupan dapat dipandang berhasil dalam tugasnya itu bila bisa mempersiapkan tumbuhnya tenaga imam diosesan secara cukup di keuskupan yang dilayaninya.
Usaha kongkret beliau adalah ketika ada sebidang tanah keuskupan di sekitar Buah Batu. Memang tidak luas, bahkan sangat sempit. Tetapi daripada menunggu tanah yang luas dan tentu lama, maka beliau memberanikan diri untuk memulai membangun sebuah seminari tinggi. Itu dimulai tahun 1986. Dalam hal pendanaan, selain dari lingkup keuskupan Bandung sendiri, juga dibantu oleh pihak konferensi para Uskup Jerman. Permohonan pernah diajukan ke propaganda Fidei di Roma, namun tampaknya permohonan itu diteruskan kepada para uskup Jerman. Atas bantuan itulah, tahun 1987 berdirilah sebuah Seminari Tinggi Keuskupan Bandung yang siap ditempati oleh para calon imam diosesan.
Sebelum seminari ini berdiri pada tahun 1987, selama ini para frater tinggal di diaspora; dulu ada yang dititipkan di Seminari Tinggi St.Paulus Kentungan-Yogyakarta (Pst.Sahid dan Pst.Liem). ada juga yang dititipkan di Biara PAndu (Pst. Sukarna). Kemudian, mulai tahun 80-1n, dititipkan di Seminari Tinggi St.Petrus dan Paulus milik Keuskupan Bogor di Buah Batu seperti angkatan Pst.Handi dan Pst. Ferry sampai tahun 1987.
Dengan pengalaman demikianlah bisa dikatakan bahwa para frater itu menjadi asing di “rumah”nya sendiri. Dan memang ini adalah kenyataannya. Mungkin juga, karena dulu itu calon imam belum banyak sehingga belum perlu membangun sebuah seminari.
Pada akhirnya, nama yang dipakai sebagai nama Seminari Tinggi itu adalah nama “Fermentum”. Nama ini adalah nama hasil usulan para frater sendiri. Fermentum berarti ragi. Istilah tersebut diambil dari kata-kata sri Paus sendiri dalam surat penugasan kepada Mgr.Alexander Djajasiswaja, “ Ut Diocesis Fermentum Sit” (agar keuskupanmu menjadi ragi).
Hal ini juga mau mengatakan harapan Mgr.Alexander Djajasiswaja agar para frater sungguh menjadi “ragi”. Sebuah ragi dimana Seminari Fermentum bukan tempat pembinaan “tukang—tukang” misa; tetapi sebagai pemimpin umat yang sekaligus berwawasan kemasyarakatan. Terlalu mahal, bila seminari itu hanya menghasilkan “tukang-tukang” misa. Di sini, untuk tugas itu sudah cukup iamam. Sudah cukup! Tetapi, imam sebagai pemimpin umat, imam yang dapat membimbing umat, imam yang berwawasan kemasyarakatan, masih sangat kurang. Padahal, Gereja di sini sangat membutuhkan imam-imam seperti itu sehingga Gereja dapat bersambungan dengan masyarakat.
Mgr.Alexander Djajasiswaja mengatakan bahwa tidak cukup untuk menjadi imam saja. Apalagi pada masa depan, dimana perkembangan dan kemajuan sangat cepat terjadi di masyarakat. Umat tentu tidak akan puas, bila imamnya hanya bisa misa saja. Mereke membutuhkan pendampingan khusus, berkaitan dengan hidup dan profesinya. Maka kepada para frater, sejak awal diharapkan untuk menggeluti bidang-bidang tertentu yang memang diminati. Beliau berharap, pada masa depan semakin banyak imam yang ahli atau paling tidak mau mempelajari bidang-bidang khusus. Dengan demikian, ia tidak hanya berguna bagi umat, namun bermanfaat pula bagi masyarakat.
Hal ini juga dimaksudkan bagi mereka semua yang juga berkarya di paroki atau daerah yang kecil. Bahkan, terutama di daerah kota. Untuk hal ini, Rm. Mangun pernah berkomentar, “Sebenarnya, kalian sebagai imam itu di daerah kecil/pelosok kan menjadi orang paling pandai. Seharusnya kalian bisa berbuat sesuatu bagi masyarakat di situ; bila kalian kerjanya hanya week-end saja (Sabtu dan Minggu) untuk misa, ya bisa frustasi, merasa tidak ada pekerjaan. Padahal, kalau mau, ya banyak pekerjaan.” Selama ini terlihat masih banyak imam yang kerjanya hanya week-end saja. Maka, yaw ajar saja bila ada yang frustasi dan akhirnya lari.
Dari itu semua tampak bahwa bekal filsafat-teologi menjadi tidak mencukupi untuk memenuhi tuntutan itu. Idealnya, memang perlu studi tambahan untuk melengkapinya. Perlu kecakapan dan perjuangan. Ini kebutuhan kita. Menjadi imam emmang tidak cukup asal baik saja, namun perlu kemampuan studi tertentu.
Kriteria untuk para calon imam menurut beliau adalah mengikuti perkembangan gereja danmasyarakat, kita membutuhkan imam-imam yang tidak hanya bisa misa saja, harus lebih dari itu. Sebenarnya, umat juga harus dibiasakan bahwa misa itu bukan keharusan bila memang tidakada imam. Ibadat sabda juga bagus. Dan jangan mempersempit tugas imam hanya sebagai pemimpin misa saja.
Untuk kepemimpinan sekarang, rasanya jauh lebih berarti seorang pemimpin itu merupakan rekan seperjalanan, bukan yang menentukan segala-galanya. Mgr.Alexander Djajasiswaja merasa bahwa kondisi itu baik. Jarak memang perlu ada, tetapi jangan terlalu ditekankan. Biarlah para frater berlatih menemukan sendiri jalannya. Kita hanya mengarahkan, member kesempatan dan membantu. Lagi pula, bila relasi dapat terjalin baik, ini dapat menjadi sarana untuk mengupayakan kebersamaan atau kelak dalam presbyterium di antara para imam. Dan ini, yang selama ini saya upayakan, bagaimana tumbuh kebersamaan di anatara para imam. Selain untuk saling mendukung dan menguatkan, kebersamaan dapat sebagai upaya menjalin solidaritas dalam upaya membangun keuskupan. Seorang imam tidak ditahbisakan untuk berkarya sendiri-sendiri. Namun selalu dalam kebersamaan dengan imam lain. Banyak hal bisa kita kerjakan bila bekerjasama dengan orang lain. Umat tentu akan senang bila melihat para imamnya kompak, tidak berjalan sendiri-sendiri. Dan di seminari Fermentum inilah kebersamaan itu mulai dilatih. Bila seseorang tidak sanggup berkerjasama dengan orang lain, Mgr.Alexander Djajasiswaja berkata, “ya.. sebaiknya jangan mejadi imam, nanti malah merepotkan.”.

No comments: