Penelitian Etnografi
Sebuah Pengantar
Dalam istilah Yunani, ethnos, berarti masyarakat, ras atau sebuah kelompok kebudayaan, dan etnografi berarti sebuah ilmu yang menjelaskan cara hidup manusia. Pada perkembangan selanjutnya dalam etnografi terjadi banyak perdebatan tentang cara bagaimana manusia (baca peneliti – ‘self’) menjelaskan cara hidup manusia lainnya (‘yang diteliti’ – ‘other’) – termasuk di dalamnya tentang cara-cara bagaimana peneliti melihat ‘yang lainnya’ untuk kemudian ‘menceritakannya’ kepada manusia lainnya (baca: orang-orang yang ‘berkepentingan’ terhadap manusia ‘yang diteliti’). Etnografi juga diartikan sebagai sebuah pendekatan untuk mempelajari tentang kehidupan sosial dan budaya sebuah masyarakat, lembaga dan setting lain secara ilmiah, dengan menggunakan sejumlah metode penelitian dan teknik pengumpulan data untuk menghindari bias dan memperoleh akurasi data yang meyakinkan.
Bagaimana pun para ilmuwan dan peneliti sosial mengartikannya, tampak ada kesepakatan untuk mengatakan bahwa etnografi menempatkan perspektif masyarakat yang berada di dalam setting penelitian sebagai hal yang terpenting. Apa yang dilakukan orang-orang sebenarnya, dan alasan-alasan mereka melakukannya menjadi hal pertama yang harus ditemukan dalam penelitian etnografi – sebelum kita (kemudian) menentukan interpretasi atas tindakan mereka dari pengalaman atau profesionalitas atau disiplin akademis kita dalam analisa. Dalam Antropologi, interpretasi atas tindakan masyarakat tersebut kemudian ‘digunakan’ untuk menjelaskan dan terus memperdebatkan teori-teori budaya; bagi pembuat kebijakan interpretasi tersebut digunakan untuk menganalisa kebijakan.
Penelitian etnografi kadang membutuhkan waktu panjang, dan interaksi temu muka dengan masyarakat di suatu daerah dengan menggunakan sejumlah metode pengumpulan data. Pada awal abad 20 seorang peneliti etnografi bisa menghabiskan rata-rata 2-3 tahun untuk tinggal bersama dengan masyarakat di suatu daerah – karena dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang masyarakat dan kebudayaannya. Saat ini penelitian etnografi lebih difokuskan pada permasalahan lebih spesifik, tidak lagi memotret masyarakat dengan kebudayaannya yang begitu luas sehingga waktu yang diperlukan bisa menjadi lebih singkat. Permasalahan spesifik dilihat dari kacamata masyarakat yang ‘diteliti’ – misal: Penanganan penyakit menular pada masyarakat Sumba. Permasalahan yang lebih fokus akan membuat penelitian semakin mendalam, dengan tentu saja menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Namun lamanya waktu penelitian ditentukan terutama oleh metode pengumpulan data yang dipakai yang juga tergantung pada permasalahan validitas data – bukan hanya permasalahan penghematan biaya penelitian.
Kegiatan live-in sebagai program UFO kali ini akan mengajak para pesertanya untuk melihat umat Paroki Cigugur dalam lingkungan alamiahnya – bagaimana mereka hidup dan saling berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosialnya; dan bagaimana penggembalaan sebagai sebuah bentuk kebijakan dibuat dan berkembang di dalamnya. Selama berada di Cigugur para peserta akan diajak untuk mencicipi sedikit pengalaman bagaimana penelitian etnografi dilakukan. Tulisan ini dibuat sebagai pengenalan awal tentang penelitian etnografi – sebagai sebuah pendekatan untuk mempelajari kehidupan sosial dan budaya sebuah masyarakat secara ilmiah.
Etnografi, Kebudayaan dan Masyarakat
Secara umum etnografi disebut sebagai ‘menuliskan tentang kelompok masyarakat’. Secara khusus hal tersebut juga berarti menuliskan tentang kebudayaan sebuah kelompok masyarakat. Disebutkan bahwa seluruh manusia, dan juga beberapa binatang (seperti simpanse, orangutan, gorila) menciptakan, mentransmisikan, membagi, merubah, menolak, dan menciptakan kembali budaya di dalam sebuah kelompok. Semua peneliti etnografi memulai, dan mengakhiri penelitiannya dengan berfokus pada pola-pola ini, dan sifat-sifat yang ‘dipersamakan’ atau ‘disepakati’ bersama, membentuk sebuah kebudayaan masyarakat. Dokumen yang dihasilkan dari fokus tersebut disebut dengan etnografi.
Kebudayaan bukan sebuah sifat individual. Meskipun demikian seorang individu bisa disebut sebagai menciptakan pola-pola budaya dengan menemukannya dan mengkomunikasikannya dengan yang lainnya. Bentuk atau unsur budaya ada hanya ketika hal tersebut dibagi (shared) – dengan orang lain di dalam kelompok. Kebudayaan terdiri dari pola-pola perilaku dan kepercayaan kelompok yang berlangsung secara terus menerus. Karenanya, sebuah kelompok (bahkan kelompok kecil sekali pun) harus mengadopsi perilaku atau kepercayaan dan mempraktekkannya secara terus menerus jika hal tersebut akan didefinisikan sebagai sifat budaya daripada sebagai pribadi atau individual.
Contoh kasus : di sebuah sudut terminal bus, tampak seseorang yang memakai begitu banyak peniti di bajunya, bahkan di telinga dan kulitnya. Di kalangan orang yang berpakaian kemeja dan berdasi pemandangan seperti itu tampak aneh, dan orang yang memakainya seakan ‘tidak ada yang menyamai’ (unik). Bila orang tersebut tidak membaginya dengan orang lain maka hal tersebut bukan merupakan bentuk budaya. Namun ketika cara berpakaian seperti itu dibagi bersama di kalangan ‘anak punk’ maka hal tersebut merupakan sebuah bentuk kebudayaan.
Kebudayaan juga bisa diperlakukan sebagai sebuah fenomena mental, sebagai segala sesuatu yang ada dalam pengetahuan, kepercayaan, yang dipikirkan, dipahami, dirasakan, atau maksud mengapa orang melakukan sesuatu. Kebudayaan bisa diperlakukan secara perilaku dalam kerangka apa yang orang lakukan sebagaimana yang teramati, sebagaimana yang dikatakan (yang dilaporkan), atau sebagai ‘norma’ (yang diharapkan) melawan ‘praktis’ (yang aktual). Pola-pola tersebut dikenal sebagai: pola-pola dari perilaku (patterns of behaviour), dan pola-pola bagi perilaku (patterns for behaviour). Pola-pola dari perilaku merepresentasikan variasi-variasi perilaku atau pilihan-pilihan di dalam kelompok. Pola-pola bagi perilaku merepresentasikan ekspektasi budaya terhadap perilaku – apa yang diharapkan secara budaya dari perilaku seseorang.
Contoh kasus : Berbagai gaya berrnyanyi dan bergoyang dalam musik dangdut – seperti Elvi Sukaesih, Dewi Persik, Anisa Bahar, Nita Talia, Inul Daratista, Rhoma Irama, Thomas Djorghi – merupakan pola-pola dari perilaku dalam membawakan lagu dangdut. Tetapi ketika kasus ‘goyang ngebor’ yang dibawakan Inul dianggap ‘tidak sopan’, dan menjadi dilarang, banyak orang mulai mengemukakan pendapatnya tentang goyang dangdut yang ‘lebih sopan’. Pendapat orang-orang tentang ‘goyang dan kostum panggung yang sopan’ – pakaian tidak terbuaka pada bagian perut, menutup dada, tidak menggoyangkan pinggul ke depan dan ke belakang – tersebut merupakan pola-pola bagi perilaku dalam membawakan lagu dangdut – apa yang diharapkan secara budaya dari perilaku penyanyi dangdut ketika membawakan lagunya di panggung.
Meskipun kebudayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang dibagi (di antara orang-orang dalam sebuah kelompok masyarakat), kita tidak bisa menyatakan bahwa setiap orang dalam di dalam kelompok sosial atau budaya mempercayai hal yang sama, atau berperilaku dengan cara yang sama. Di dalam setiap kelompok dan segala ranah kebudayaan yang bisa kita bayangkan, variasi substansial akan muncul. Sebagai contoh, sikap, kepercayaan dan perilaku masyarakat akan bervariasi tergagantung pada etnis, identitas rasial, gender, identitas gender, status dan kelas sosial, tingkat pendidikan, umur, tempat tinggal, dan faktor lain yang relevan di dalam permasalahan sosial dan politik kehidupan. Peristiwa-peristiwa bersejarah yang unik, lingkungan, ruang, dan tempat juga bisa mempengaruhi variasi perilaku atau kepercayaan individual sebagai bagian dari sebuah kelompok. Variasi tersebut menjadi pertimbangan kritis di dalam penelitian etnografi dalam kerangkan menghindari stereotip , dan jaminan untuk mendengarkan semua pendapat di dalam setting – tidak hanya mendengarkan suara dari satu orang saja.
Bicara etnografi tidak bisa dilepaskan dari permasalahan definisi kebudayaan, di mana dari proses berbagi (share) di dalamnya terbentuk suatu kelompok orang-orang, lembaga atau masyarakat. Penelitian etnografi tidak bisa dilepaskan dari permasalahan kebudayaan masyarakat di dalam setting tertentu. Etnografi itu sendiri juga menjadi sebuah cara untuk memperbicangkan teori-teori kebudayaan melalui fenomena yang diteliti di lapangan. Etnografi membangun teori kebudayaan – atau penjelasan tentang bagaimana orang berpikir, percaya, dan berperilaku – yang disituasikan dalam ruang dan waktu setempat.
Penelitian di lingkungan alamiah (natural setting)
Penelitian etnografi dilakukan di lingkungan alamiah (natural setting) tempat di mana ‘yang diteliti’ (baca: masyarakat, lembaga atau kelompok manusia) hidup – bukan penelitian yang dilakukan di laboratorium atau lingkungan buatan lainnya. Dalam penelitian etnografi peneliti datang ke tempat di mana masyarakat atau kelompok tinggal untuk ‘mengalami bersama’ apa yang mereka lakukan sehari-hari. Dari pengalaman bersama dengan ‘yang diteliti’ ini diharapkan peneliti bisa memahami bagaimana kehidupan sosial dan budaya dari sudut pandang mereka. Rumah, sawah, rumah sakit, pasar, mal, ruang kelas, ruang tunggu, dan MCK umum hanyalah sebagian kecil setting alamiah, tempat di mana orang-orang bisa berinteraksi satu dengan yang lainnya – dan tentunya peneliti harus mengunjunginya untuk bisa melihat ‘yang diteliti’ dalam setting alamiahnya.
Contoh kasus: Mengapa seorang ibu lebih memilih untuk mencuci di sungai daripada di MCK umum yang dibangun pemerintah? Pertanyaan tersebut bisa dijawab secara etnografis bila peneliti mengalami bersama ibu-ibu – sebagai ‘yang diteliti’ – mencuci di sungai. Alasan mereka untuk lebih memilih sungai daripada MCK umum lebih mudah dipahami dari pengalaman mencuci bersama mereka. Mengapa umat tidak lagi pergi ke gereja? Pertanyaan tersebut juga bisa dipahami bila peneliti tinggal bersama mereka di lingkungan alamiahnya. Air yang mengalir lebih deras, sabun cuci jadi lebih mudah dibilas hanya sebagian jawaban yang bisa diperoleh dari pengalaman mencuci bersama. Demikian pula dengan jarak gereja yang jauh dari rumah, hawa panas di dalam gereja juga menjadi sebagian jawaban dari pengalaman pergi ke gereja bersama umat. Tetapi ada hal lain yang tak kalah penting daripada mengalami interaksi ‘yang lain’ dengan lingkungan fisiknya – seperti kualitas air, jarak, dan hawa panas. Namun interaksi ‘yang lain’ dengan lingkungan sosialnya menjadi tak kalah penting untuk dipahami dalam setting natural. Bisa bergosip dengan tetangga, kemudahan memperoleh informasi desa, hingga ‘gengsi’ menjadi sebagian informasi yang bisa diperoleh dari pengalaman mencuci bersama ibu-ibu. Demikian pula halnya dengan konflik antarumat, bosan dengan khotbah pastor, tidak lagi bisa menjawab pertanyaan tentang ‘hidup’ mungkin menjadi jawaban yang diperoleh dari informan dengan tinggal bersama umat.
Peneliti tidak bisa mengubah setting alamiah dalam penelitian etnografi – misalnya dengan membuat sawah baru, model ruang tunggu dengan alasan ‘kemudahan’ penelitian. Namun dalam beberapa metode pengumpulan data di dalam etnografi peneliti bisa ‘mengontrol’ setting – misal: dengan mengundang beberapa anggota masyarakat ke balai desa setempat untuk melakukan focus group interview dan focus group discussion.
Interaksi manusia dengan lingkungan alam dan sosialnya menjadi hal yang penting karena di dalamnya juga bisa terlihat bagaimana manusia berbagi – pengetahuan, nilai-nilai, perilaku – yang kemudian disebut sebagai bentuk kebudayaan. Hal tersebut menjadi pertimbangan mengapa peneliti tidak bisa mengubah setting. Metode focus group interview juga tidak menjadi satu-satunya cara yang dipilih untuk mengumpulkan data dalam etnografi. Sebagai sebuah penelitian yang menggunakan sejumlah teknik pengumpulan data, hasil yang didapat dari focus group interviews akan di cek ulang dengan informasi yang didapat dari teknik lainnya –melalui observasi dan wawancara mendalam yang dilakukan di dalam setting alamiah.
Peneliti sebagai alat pengumpul data
Etnografi menggunakan peneliti sebagai alat pengumpul data – melalui indera penglihatan, pendengaran, dan perasa. Melalui kegiatan wawancara dan observasi peneliti mengumpulkan data untuk kemudian merumuskan permasalahan, dan mencari pemecahannya. Keberadaan peneliti sebagai alat pengumpul data ini juga menimbulkan perdebatan panjang berkenaan dengan validitas dan reliabilitas ketika etnografi dibandingkan dengan metode penelitian lainnya – terutama yang tidak menggunakan peneliti sebagai alat pengumpul data. “Ilmu pengetahuan yang obyektif” menjadi sesuatu yang memberatkan, ketika keberadaan peneliti, dan interaksinya dengan ‘yang diteliti’ di lapangan memungkinkan terjadinya ‘bias ’ dalam data yang dihasilkan.
Sebagian peneliti percaya bahwa metode yang digunakannya dalam penelitian etnografi bisa dan harus netral dan bebas nilai, meskipun mereka menyadari bahwa nilai-nilai peneliti (yang dibawa di dalam kepalanya) memainkan peranan penting dalam penyeleksian pertanyaan penelitian. Para peneliti juga menyadari bahwa nilai dan kepentingan mempengaruhi bagaimana hasil penelitian akan digunakan. Mereka yang berpendapat demikian juga sepakat untuk menggunakan beberapa metode dan teknik pengumpulan data sekaligus untuk mengatasi permasalahan obyektivitas ini.
Pada banyak kasus, peneliti diharuskan tinggal bersama dengan ‘yang diteliti’ di dalam setting alamiah mereka. Ketika itu pula dibangun suatu hubungan mutualisme di mana peneliti juga harus membantu ‘yang diteliti’ untuk menyelesaikan permasalahan mereka, yang mungkin menjadi permasalahan penelitiannya. Kedekatan yang dibangun selama berada di lapangan dalam rangka mendapatkan jawaban yang lebih mendalam, bisa jadi akan berpengaruh di dalamnya – terutama bila peneliti harus bekerja sama dengan orang-orang di dalam setting yang berbeda pendapat, atau saling berlawanan. Kedekatan akan berpengaruh pada peneliti – dalam intepretasi data ketika menuliskan dan menggambarkan ‘yang lain’, juga ketika cara penyelesaian masalah ditentukan dalam kerangka membantu ‘yang lain’.
Serangkaian teknik pengumpulan data digunakan – seperti observasi, wawancara, survey dan sampel populasi, focus group interviews, metode audiovisual, pemetaan, penelitian jaringan. Dalam satu penelitian etnografi bisa digunakan beberapa metode pengumpulan data sekaligus dengan tujuan saling melengkapi – menghilangkan ‘bias’ menjadi salah satu alasan di dalamnya.
Penggunaan data kuantitatif dan kualitatif sekaligus merupakan hal yang biasa dilakukan dalam etnografi. LeCompte & Schensul (1999) menyebut peneliti etnografi sebagai ‘pengumpul segala data’ – mereka menggunakan segala bentuk data yang mungkin saja bisa memperjelas jawaban yang menjadi pertanyaan penelitian. Secara umum peneliti menyelenggarakan penelitian awal secara kualitatif terlebih dulu untuk mengetahui apa yang terjadi di suatu tempat tertentu. Baru kemudian mereka menentukan variabel kunci dan ranah yang akan diteliti secara kuantitatif. Pengukuran kuantitatif digunakan untuk memverifikasi penemuan kualitatif.
Observasi dan wawancara dalam etnografi
Observasi dan wawancara adalah cara pengumpulan data yang umum dilakukan dalam penelitian etnografi. Keduanya dilakukan bersamaan di dalam setting alamiah ‘yang diteliti’, dan saling melengkapi untuk mendapatkan gambaran tentang ‘yang lain’. Observasi dan wawancara menggunakan peneliti sebagai alat pengumpul data – melalui indera (penglihatan, pendengaran, dan perasa), dan kemampuan untuk berkomunikasi.
Observasi dan wawancara dalam etnografi tidak bisa dilepaskan dari partisipasi, yang berarti peneliti hampir sepenuhnya ‘menenggelamkan diri’ di dalam kehidupan bersama masyarakat yang diteliti. Kegiatan ini kemudian dikenal sebagai pengamatan partisipatif (participant observation). Dalam pengertian tradisionalnya pengamatan partisipatif berarti juga pengamalan ‘menenggelamkan diri’ – di mana peneliti belajar hidup di dalam masyarakat sebagai anggota dan penduduk tetap. Disebut sebagai ‘pengalaman belajar (untuk) hidup’ karena biasanya peneliti tidak punya pengetahuan tentang kebudayaan masyarakat di mana ia akan tinggal, dan kemudian mempelajarinya melalui keterlibatannya sebagai anggota di dalamnya. Dalam pengertian modern, pengamatan partisipatif tidak mengharuskan peneliti untuk terlibat secara penuh, menjadi anggota masyarakat ‘yang diteliti’ atau penduduk tetap. Partisipasi di sini bisa diartikan sebagai sebuah rangkaian waktu – keberlanjutan.
Observasi merujuk pada segala sesuatu yang dapat teramati melalui indera penglihatan peneliti etnografi. Observasi selalu mengalami ‘penyaringan’, melalui kerangka interpretasi peneliti. Observasi yang paling akurat adalah yang dibentuk melalui kerangka teoritis dan perhatian yang teliti terhadap detail. Pengaruh lain dalam observasi adalah bias personal dan nilai, dan teori yang tidak teratikulasikan, yang justru tidak membantu. Peneliti etnografi harus memahami dengan seksama permasalahan peneltian dan kerangka teoritis yang membentuknya, sama baiknya dengan bias-bias yang mungkin akan muncul di dalamnya – sebagai upaya untuk meminimalkan bias. Kualitas hasil pengamatan tergantung pada kemampuan peneliti untuk mengamati, mendokumentasikan dan menginterpretasikan apa yang bisa teramati.
Apa yang diamati oleh peneliti etnografi akan berbeda selama berada di lapangan. Peneliti menghabiskan hari (minggu atau bulan) pertamanya di lapangan untuk melakukan orientasi – melakukan pengenalan terhadap situasi dan kondisi setting. Keingingtahuan dan kebutuhan untuk mempelajari bagaimana harus berperan menghadapi situasi baru menjadi faktor pendorong observasi yang baik. Makin lama, pengamatan akan jadi semakin selektif.
Contoh kasus : Dalam perjalanan menuju Desa Kelian Dalam, rakit-rakit tambang yang berjajar di sepanjang tepi sungai Kelian menjadi pemandangan pertama. Saat itu tak satu pun peneliti yang mengetahui bagaimana sistem penambangan rakit tersebut bekerja, yang ada di kepala peneliti adalah sejumlah permasalahan dan pertanyaan penelitian. Setelah sampai di lokasi, hal pertama yang dilakukan adalah menemui kepala desa untuk minta ijin dan menanyakan di mana peneliti boleh tinggal. Gedung PKK yang jarang dipakai menjadi tempat yang diberikan oleh kepala desa untuk tempat tinggal. Setelah itu peneliti melihat situasi sekitar tempat tinggal – di mana letak MCK umum, warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari, dan ‘ngobrol’ dengan tetangga terdekat. Berkenalan dengan para ketua RT dan orientasi seluruh wilayah desa, termasuk pemetaan awal lokasi, dilakukan pada hari kedua. Saat itu kehidupan desa mulai sedikit tergambarkan dari informasi pemilik warung, dan tetangga terdekat. Sistem kerja rakit tambang yang ditemui pada saat memasuki lokasi desa baru sedikit tergambarkan setelah minggu pertama. Saat itu hampir seluruh rakit penambangan menjadi setting observasi setiap hari. Pemetaan rakit (penduduk setempat menyebutnya ‘unit tambang’) penambangan di sepanjang Sungai Kelian pun dibuat – letak, sistem kerja, dan pemiliknya.
Selain kondisi lingkungan, peristiwa juga merupakan hal yang menjadi sasaran pengamatan peneliti etnografi. Peristiwa didefinisikan sebagai kegiatan yang berurutan yang terbatas pada ruang dan waktu. Peristiwa adalah kegiatan yang lebih luas, lebih lama, dan melibatkan lebih banyak orang di dalamnya dibandingkan dengan kegiatan tunggal. Seren Taun, acara 17 Agustus-an, gotong royong bersih desa adalah beberapa contoh peristiwa yang biasa diselenggarakan di wilayah Paroki Cigugur. Mencangkul tanah, menyiangi rumput, memperbaiki saluran air adalah contoh kegiatan tunggal yang biasa dilakukan petani di sawah.
Peristiwa biasanya diselenggarakan di suatu tempat spesifik, dan mempunyai arti dan tujuan khusu yang disepakati bersama oleh kebanyakan orang, meskipun penafsiran individu atas arti peristiwa tersebut berbeda-beda – tergantung perbedaan di antara para informan. Peristiwa biasanya melibatkan lebih dari satu orang, punya kesejarahan dan kepentingan, dan berulang dalam periode waktu tertentu. Pertanyaan tentang siapa, apa yang terjadi, di mana, kapan, mengapa dan untuk siapa merupakan hal umum yang ditanyakan untuk memperoleh gambaran tentang peristiwa.
Penghitungan, pengambilan sensus, dan pemetaan merupakan hal lain yang penting dilakukan oleh peneliti etnografi dalam observasi – untuk memperoleh gambaran yang lebih akurat tentang keberadaan orang-orang, tempat, dan hal-hal lain di dalam lingkungan sosial. Hal tersebut sangat membantu ketika kemampuan berbahasa lokal dan akses terhadap lingkungan sangat terbatas. Data tersebut bisa dikumpulkan dari berbagai tempat dan jangka waktu tertentu untuk memperlihatkan perbedaan dariwaktu ke waktu.
Contoh kasus : Pada kasus penambangan tradisional di Kelian Dalam. Pemetaan unit-unit tambang di sepanjang Sungai Kelian juga mencakup pemilik masing-masing unit rakit, jumlah pekerja di setiap unit, dan sensus pekerja tambang (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan sudah berapa bekerja di unit tersebut). Pemetaan masing-masing lingkungan RT juga dibuat untuk menggambarkan kondisi desa – termasuk di dalamnya letak dan penghitungan jumlah rumah, fasilitas desa, fasilitas umum, warung dan tempat hiburan serta rumah pengumpul, penyepuh, dan pembuat perhiasan emas. Sensus jumlah anggota keluarga di tiap rumah juga dilakukan, termasuk berapa orang yang mengunjungi tempat hiburan rata-rata per hari – termasuk di dalamnya penggolongan umur dan jenis kelamin.
Merupakan tantangan bagi peneliti untuk mentransformasikan hasil observasi ke dalam bentuk tulisan catatan lapangan, yang nantinya menyatakan sebuah rekaman ilmiah dari pengalaman sebagai referensi di masa yang akan datang. Semakin lengkap dan akuratnya catatan lapangan, semakin mempermudah peneliti (lain) untuk menggunakannya sebagai data. Seorang peneliti harus menyadari bahwa catatan lapangannya dibuat bukanuntuk dirinya sendiri melainkan juga untuk orang lain – bahkan bila catatan tersebt dibuat dengan sangat detail akan terlihat pola-pola yang terjadi di dalamnya, yang tidak teramati dengan hanya menuliskan satu bagian cerita saja.
Saat ini detail penulisan telah banyak dibantu oleh teknologi film dan fotografi – yang dikenal dengan sebutan film etnografi, dan fotografi etnografi. Film dan fotografi etnografi harus bisa menggambarkan kebudayaan yang direkam – menjadi representasi kebudayaan orang-orang di dalam setting. Namun narasi tetap diperlukan di dalamnya untuk lebih memberikan gambaran yang jelas tentang peristiwa budaya yang direkam.
Wawancara dalam etnografi digunakan untuk menggali lebih dalam informasi dari topik yang telah ditentukan, mengetahui riwayat hidup, memahami pengetahuan dan kepercayaan, dan penjelasan tentang tindakan. Secara teknis terdapat dua macam wawancara yang umumnya digunakan dalam etnografi, yaitu: 1) wawancara mendalam (in-depth interview), dan 2) wawancara terbuka (open-ended interview). Wawancara mendalam merujuk pada eksplorasi segala dan semua aspek sebuah topik secara detail. Sementara wawancara terbuka membiarkan respon terbuka pada penilaian yang diwawancara dan tidak terikat pada pilihan yang disediakan oleh pewawancara atau membatasi pada sepotong jawaban. Tidak ada jawaban yang benar , dan yang diwawancara tidak dihadapkan pada serangkaian alternatif pilihan. Eksplorasi merujuk pada tujuan wawancara – untuk mengeksplorasi bidang-bidang yang diyakini penting untuk dipelajari dan baru sedikit diketahui. Bentuk pertanyaan terbuka dan eksploratif ini memungkinkan peneliti untuk menggunakan fleksibilitasnya secara maksimal di dalam mengeksplorasi topik secara mendalam, dan membuka topik baru yang muncul di dalamnya.
Tujuan utama wawancara terbuka adalah mengeksplorasi bidang yang belum dijelaskan dalam model jaringan konsep; mengidentifikasi bidang baru; merinci bidang-bidang ke dalam bagian faktor-faktor, dan sub-faktor; mendapatkan informasi terarah tentang konteks dan sejarah tentang permasalahan yang diteliti dan lokasi penelitian; membangun pemahaman dan hubungan positif antara pewawancara dan orang yang diwawancara. Sebuah wawancara eksploratif membutuhkan ingatan yang selalu waspada, pemikiran logis, dan kemampuan komunikasi yang bagus.
Wawancara eksploratif bertujuan untuk memperluas pengetahuan peneliti tentang permasalahan yang hanya sedikit diketahuinya. Orang-orang yang diidentifikasi oleh peneliti dan anggota masyarakat sebagai ‘mempunyai pengetahuan yang baik’ tentang topik yang akan dieksplorasi dipilih sebagai informan kunci atau ahli budaya, untuk kemudian diwawancara. Perlu dilakukan seleksi untuk memilih informan kunci yang terbaik – yang punya pengetahuan terbanyak tentang topik yang ditanyakan.
Representasi bukan menjadi tujuan utama wawancara mendalam – namun penguasaan atas topik yang ditanyakan menjadi lebih penting di dalamnya. Meskipun demikian beberapa faktor utama tetap harus dipertimbangkan dalam pemilihan informan kunci – seperti etnisitas, kelas sosial, dan umur – yang mungkin mempengaruhi batas pada perpsektif mereka. Sebagai contoh: pengaruh televisi pada budaya lokal akan dipersepsikan berbeda antara informan yang berusia di atas 50 tahun, dengan remaja berusia belasan tahun. Faktor etnisitas menjadi penting karena mereka yang disebut sebagai ‘penduduk asli’ akan mempunyai perspektif berbeda tentang kebudayaan lokal dibandingkan dengan ‘pendatang’.
Wawancara dan observasi yang eksploratif dituntun oleh rencana penelitian (research design), dan terutama oleh pertanyaan penelitian dan beberapa pertanyaan umum ang dimiliki oleh peneliti tentang topik spesifik yang akan dieksplorasi. Proses wawancara dan observasi lebih lanjut dituntun oleh hipotesis awal atau dugaan-dugaan tentang pola-pola budaya, hubungan-hubungan sosial, dan mengapa beberapa hal terjadi demikian. Dengan demikian, meskipun terbuat di dalam kedua bentuk kegiatan pengumpulan data, peneliti juga terlibat di dalam formulasi teoritis tingkat rendah yang akan diuji secara terus menerus terhadap model teoritis yang telah terbentuk dan data baru yang muncul dari lapangan. Observasi dan wawancara adalah dua aktivitas kritis yang memungkinkan peneliti untuk memperkaya bentuk teori etnografis dengan menanyakan pertanyaan interpretatif, dan mengamati perilaku yang menjadi kebiasaan dan tidak disadari, untuk kemudian dengan sukarela diterangkan oleh pelakunya ke dalam bentuk kata-kata.
Di dalam observasi, kita mencoba untuk menangkap aspek penting dari apa yang kita lihat dalam detai yang konkrit. Dalam wawancara, kita memakai tahap yang sama tetapi dengan tambahan keunggulan dengan bisa menangkapnya melalui kata-kata ‘yang diteliti’ tentang apa yang mereka lihat, percaya dan melaporkannya untuk sebuah topik yang spesifik. Dengan kata lain wawancara bisa menjelaskan hasil pengamatan melalui kata-kata pelakunya sendiri.
Wawancara dan observasi merupakan tantangan bagi peneliti karena sifatnya yang ‘tidak terduga’. Tetapi justru ‘ketakterdugaan’ ini yang membuat keduanya jadi alat yang menarik untuk eksplorasi pada awal hingga akhir penelitian – ketika hasil awal muncul dan dibutuhkan verifikasi di dalam masyarakat ‘yang diteliti’.
Etnografi terapan
Sebagai sebuah pendekatan untuk mempelajari kehidupan masyarakat, hasil penelitian etnografi seakan dihadapkan pada dua pilihan kegunaan yaitu: 1) untuk berteori tentang kebudayaan – berkenaan dengan fenomena masyarakat yang diteliti; dan 2) memecahkan permasalahan di dalam masyarakat yang diteliti. Untuk kegunaan yang ke-dua dikenal istilah etnografi terapan. Etnografi terapan adalah penelitian etnografi yang lebih bertujuan pada identifikasi dan pemecahan masalah (problem solving) yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok – dengan tetap memakai ‘lensa’ masyarakat yang ‘diteliti’.
LeCompte & Schensul (1999) mengatakan bahwa penelitian etnografi terapan selalu berpusat pada 2 tujuan, yaitu: 1) memahami permasalahan sosiokultural di dalam masyararakat atau lembaga; dan 2) menggunakan penelitian untuk memecahkan permasalahan atau membantu menemukan perubahan positif di dalam lembaga atau masyarakat. Penelitian etnografi terapan berkenaan dengan pemahaman permasalahan sosial dan menggunakan pemahaman tersebut kepada sebuah perubahan positif di dalam masyarakat, lembaga atau kelompok. Etnografi terapan seringkali digunakan dalam studi kebijakan – karena dianggap bisa menyediakan perspektif lain dari masyarakat ‘yang dikenai kebijakan’, dan bukan hanya sekedar evaluasi atas implementasi kebijakan.
Hampir sama dengan penelitian etnografi terapan, etnografi sebagai sebuah ilmu lebih berfokus pada penciptaan teori-teori budaya – bagaimana teori budaya diperdebatkan melalui studi etnografi. Etnografi sebagai sebuah ilmu menghasilkan atau membangun teori-teori tentang budaya – atau penjelasan-penjelasan bagaimana masyarakat berfikir, percaya dan berperilaku – yang disituasikan dalam ruang dan waktu setempat. Meskipun demikian teori-teori kebudayaan yang dihasilkan dalam satu penelitian etnografi bisa menjadi hipotesis, pola-pola yang teramati, atau interpretasi yang akan dibangun dan ditelusuri dalam setting yang serupa dalam penelitian etnografis lainnya – dan tidak tertutup kemungkinan untuk kemudian digunakan dalam penelitian etnogafi terapan.
Sebagai sebuah bentuk pemecahan masalah, tentu akan lebih baik bila hasil yang didapat dari studi etnografi ini berguna bagi masyarakat – di mana permasalahan tersebut berawal. Permasalahan bisa diidentifikasikan oleh peneliti, dan tokoh masyarakat di dalam sebuah setting di mana studi etnografi akan dilakukan. Penelitian etnografi terapan akan menghasilkan sesuatu yang berguna bagi anggota-anggota masyarakat atau lembaga di dalam setting di mana permasalahan dipecahkan.
Contoh kasus: Pada masyarakat Sumba, penyakit TB Paru diidentifikasi sebagai sebuah penyakit menular yang memerlukan penanganan segera. Pihak Dinas Kesehatan setempat mengidentifikasi TB Paru sebagai penyakit dengan jumlah penderita yang cukup tinggi, menular, dan sukar untuk disembuhkan. Bersama dengan pihak Dinas Kesehatan dan masyarakat, peneliti mengidentifikasikan bersama permasalahan tersebut. Kebudayaan masyarakat Sumba menjadi menjadi unsur terpenting dalam penelitian ini – melihat TB Paru dari sudut pandang masyarakat Sumba. Keluarga luas yang tingal bersama dalam satu rumah adat berpengaruh pada proses penularan, pengobatan, serta tingkat kesembuhan penderita TB Paru. Peneliti menemukan bahwa bila dalam satu rumah seluruhnya terkena TB Paru, hanya satu orang yang pergi ke puskesmas. Obat yang seharusnya diminum selama 6 bulan, hanya diminum selama kurang dari satu bulan – karena obat dibagi untuk seluruh anggota keluarga yang tinggal bersama dalam satu rumah.
Sebagai sebuah permasalahan kesehatan pihak Dinas Kesehatan juga menjadi bagian di dalamnya – yang memberikan sudut pandang medis untuk penyembuhan TB Paru. Sudut pandang masyarakat Sumba terhadap penyakit TB Paru menjadi hal pertama yang harus diidentifikasikan oleh peneliti, yang kemudian menjadi penuntun untuk menemukan cara-cara pengobatan medis yang lebih sesuai untuk mereka. Selama ini penduduk setempat masih percaya pada jasa dukun penyakit (rato kaporé) untuk menyembuhkan segala jenis sakit. Sebagai salah satu solusinya hasil penelitian etnografi ini memberikan saran kepada pihak dinas kesehatan setempat untuk juga melibatkan peran dukun penyakit untuk keberhasilan program penyembuhan TB Paru.
Contoh tersebut di atas menggambarkan bagaimana sebuah penelitian etnografi bisa dipakai untuk memperbaiki kebijakan di bidang kesehatan yang selama ini dijalankan oleh pihak Departemen Kesehatan Pemda NTT. Penelitian etnografi dilakukan untuk mengetahui cara pengobatan yang sesuai dengan konteks kebudayaan masyarakat setempat – dan tentu saja apa yang bisa dilakukan oleh pihak dinas kesehatan dan pemerintah daerah setempat dalam penanganan masalah kesehatan masyarakat.
Dalam pekerjaan etnografi terapan, peneliti bukan hanya berperan sebagai penerjemah kata-kata dan perbuatan ‘yang diteliti’ tetapi juga menjadi salah satu pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam penggunaan penelitian untuk memecahkan masalah. Parapihak yang berkepentingan (stakeholders) adalah orang-orang yang punya kepentingan dalam usaha untuk meyakinkan bahwa hasil-hasil yang didapat dari penelitian digunakan untuk memecahkan masalah – yang menjadi tujuan penelitian. Parapihak tersebut menjadi jurubicara dan penerjemah bersama dengan peneliti etnografi, dan bekerjasama dengan peneliti etnografi untuk mengkonstruksikan konteks sosial dan politik sebuah permasalahan, membaca dan menginterpretasikan data etnografi bersama, dan menentukan cara-cara terbaik dan efektif penggunaan hasil penelitian untuk kepentingan masyarakat.
Gereja dan penelitian etnografi
Gereja tidak bisa dilepaskan dari umatnya. Gereja juga harus hidup di tengah-tengah umatnya. Hal yang sama juga berlaku antara umat dan masyarakat di mana mereka menjadi bagian di dalamnya. Gereja juga menjadi bagian dari lingkungan masyarakat, tempat di mana ia dibangun. Dengan melihat kondisi tersebut, tidak mungkin melihat gereja menjadi terpisah dari masyarakatnya. Telah banyak kita dengar gereja melalui program-program kerjanya membantu masyarakat setempat – yang bukan umat (misal: mengadakan program pengobatan bagi masyarakat sekitarnya, membantu korban bencana alam). Ada juga kita mendengar peristiwa pembakaran dan penutupan gereja. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan gereja tidak bisa dilepaskan dari konteks masyarakatnya.
Umat gereja adalah bagian dari masyarakatnya. Selain menjadi umat, mereka juga adalah anggota masyarakat yang hidup dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Mereka juga memiliki identitas sebagai anggota masyarakat – sebagai warga desa setempat. Identitas umat menjadi ada ketika mereka berhubungan dengan gereja – melalui identitas agama, dan keterlibatannya pada gereja. Namun di luar itu mereka juga adalah warga masyarakat – sebagai tetangga, warga RT, ada juga yang menjadi tokoh masyarakat, dan masih banyak pilihan identitas sosial lainnya.
Seseorang bisa memiliki lebih dari satu identitas atau multiple identity yang terjadi karena adanya tempat aktivitas yang berbeda. Identitas seseorang atau sekelompok orang dihasilkan secara simultan dalam banyak tempat aktivitas yang berbeda, oleh unsur-unsur yang berbeda, untuk beberapa tujuan yang berbeda pula. Identitas seseorang dalam kaitannya dengan tempat dimana ia hidup – diantara tetangga, teman-teman dan keluarga – hanyalah satu konteks sosial dan mungkin bukanlah suatu hal yang penting dalam pembentukan identitas. Adanya beberapa unsur yang beragam dalam proses penyebaran identitas, berubah-ubah, representasi yang berhubungan dalam tempat yang berbeda dari pembentukan karakter yang berbeda, itulah yang harus dipahami sebagai fakta sosial (Marcus,1994:46).
Dalam kerangka pengaturan umat, gereja juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan – yang dilihat sebagai bentuk-bentuk pengaturan umat. Melalui kegiatan misa, program kerja (DPP dan seksi-seksi), tema-tema Natal dan Paskah, dan kepemimpinan pastor, gereja mengatur umatnya. Melalui program-program kerja tersebut gereja mengajak umat untuk berbuat dan melakukan sesuatu. Kebijakan bukan suatu bentuk paksaan. Masih ada ‘pilihan’ bagi ‘yang dikenai kebijakan’ untuk menyatakan sikapnya atas pengaturan yang tertuang dalam kebijakan. Sebagai salah satu bentuk penelitian yang digunakan dalam studi kebijakan etnografi menyediakan perspektif lain dari umat sebagai pihak ‘yang dikenai kebijakan’ – bagaimana umat melihat kebijakan tersebut, dan tentunya bagaimana kebijakan tersebut bekerja di dalam umat.
Etnografi juga merupakan cara untuk memahami umat – bagaimana umat hidup sebagai bagian dari masyarakatnya, bukan hanya sebagai ‘pengunjung gereja’. Permasalahan apa yang harus dihadapi ketika mereka memilih untuk menjadi ‘pengikut gereja’. Apa yang mereka lakukan di tengah kehidupan bermasyarakat; apa yang mereka hadapi di dalam masyarakat – sebagai Katolik di tengah umat beragama lain sebagai bagian dari kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
Etnografi membantu pembuat kebijakan gereja untuk melihat ‘siapa umatnya’ – sebagai pihak yang akan ‘dikenai kebijakan’. Penelitian etnografi membantu untuk melihat, dan menemukan gambaran tentang kondisi umat melalui sejumlah metode pengumpulan data yang bisa dipertanggungjawabkan. Diharapkan dengan demikian diharapkan gereja bisa membuat kebijakan yang lebih sesuai dengan konteks umat dan masyarakat sekitarnya – berdasarkan data yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan sekedar asumsi.
Daftar Pustaka
Bernard, H. Russel
1994 “Methods Belong to All of Us”, dalam Robert Borofsky (peny.) Assessing Cultural Anthropology, New York: McGraw-Hill,Inc hlm.168-179.
Chambers, Robert
1997 Whose Reality Counts?: Putting the first last, London: Intermediate Technology Publications.
Clair, Robert Patric (ed.)
2003 Expressions of Ethnography: Novel approaches to qualitative methods, Albany: State University of New York Press.
Denzin, Norman dan Yvonna S. Lincoln (ed.)
2000 Handbook of Qualitative Research, Second Edition, California: Sage Publication.
Ervin, Alexander M.
2000 Applied Anthropology: Tools and Perspectives for Contemporary Practice, Boston: Allyn & Bacon.
Grimshaw, Anna
2001 The Ethnographer’s Eye: Ways to Seeing in Modern Anthropology, Cambridge: Cambridge University Press.
Kuper, Adam
1999 Culture: The Anthropologists’ Account, Cambridge: Harvard University Press.
LeCompte, Margaret D. & Jean J. Schensul
1999 Designing and Conducting Ethnographic Research, Walnut Creek: Altamira Press.
Marcus, George E.
1994 “After the Critique of Ethnography: Faith, Hope, and Charity, But the Greatest of These Is Charity”, dalam Robert Borofsky (ed.) Assessing Cultural Anthropology, New York: McGraw-Hill, Inc. , hlm.40-54.
Martin, Emily
1997 “Managing Americans: Policy and changes in the meaning of work and self”, dalam Chris Shore & Susan Wright (eds.) Anthropology of Policy: critical perspectives on governance and power, London & New York: Routledge.
Schensul, Stephen L, Jean J. Schensul & Margaret D. LeCompte
1999 Essential Ethnographic Methods: Observations, Interviews and Questionairs, Walnut Creek: Altamira Press.
Shore, Chris
1997 “Governing Europe: European Union audiovisual policy and the politics of identity”, dalam Chris Shore & Susan Wright (eds.) Anthropology of Policy: critical perspectives on governance and power, London & New York: Routledge.
Vidich, Arthur J. dan Stanford M. Lyman
2000 “Qualitative Methods: Their History in Sosiology and Anthropology”, dalam (Denzin dan Lincoln, ed.), Handbook of Qualitative Research, Second Edition, California: Sage Publication, hlm. 37-65.
No comments:
Post a Comment